Minggu, 18 Desember 2011

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

A. Pengertian Alih kode dan Campur Kode
Masyarakat yang multi bahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu variasi bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam kajian sosiolinguistik, pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek terpenting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan. Lebih lanjut Sumarsono (2004:201) mengatakan ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yaitu alih kode (code switching), campur kode (mixing code) dan variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language).
Dari ketiga jenis pilihan bahasa tersebut, dalam penelitian terbatas hanya membahas dua jenis pilihan bahasa, yaitu alih kode (code switching) dan campur kode (mixing code).
1) Pengertian Alih Kode
Dapat diketahui, di banyak negara dari daerah pedesaan hingga perkotaan terdapat orang-orang yang menggunakan bahasa-bahasa yang berlainan yang artinya memakai lebih dari satu bahasa untuk berkomunikasi. Nababan (1991:27) mengatakan suatu daerah atau masyarakat dimana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual. Kemudian Mackey dalam Chaer (2004:84) mengatakan penggunaan dua bahasa oleh seorang masyarakat tutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian disebut bilingualisme. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat tutur menjadi masyarakat yang bilingual.
Dengan keadaan kedwibahasaan (bilingulisme) ini, akan sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan bahasa atau interfensi bahasa. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain Gejala tersebut disebut dengan Alih kode dan Campur kode (Ohoiwutun, 2007:69). Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu, kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa (Sumarsono, 2004:201).

Selanjutnya Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Lebih lanjut Apple dalam Chaer (2004:107) mengatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Ditambahkan oleh Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Sebagai contoh peristiwa peralihan yang terjadi dalam suatu kelas yang sedang mempelajari bahasa asing (sebagai contoh bahasa Jepang). Di dalam kelas tersebut secara otomatis menggunakan dua bahasa yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.. Kemudian terjadi percakapan dalam suatu bahasa nasional (contoh bahasa Indonesia) lalu tiba-tiba beralih ke bahasa daerah (contoh bahasa Batak), maka kedua jenis peralihan ini juga disebut alih kode.
2) Pengertian Campur Kode
Kemudian gejala lain yaitu campur kode. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode Thelander dalam Chaer (2004:115) mengatakan apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Kemudian Nababan (1991:32) mengatakan campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (artau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Jadi penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Campur kode serupa dengan interfensi dari bahasa satu ke bahasa lain.
Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. jika berwujud kata biasanya gejala itu disebut peminjaman. Hal yang menyulikan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman tetapi kata-kata pinjaman ini sudah tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan sebagai bahasa yang dipakai. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”. dari sini terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan kedalam bahasa Indonesia. Namun ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala campur kode atau pun alih kode. Hal ini disebabkan penutur jelas tidak menyadari kata-kata yang dipakai adalah kata-kata pinjaman, bahkan ia merasa semuanya merupakan bagian dari bahasa Indonesia karena proses peminjaman tersebut sudah terjadi sejak lama. Lebih lanjut Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata yang-kata yang megalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan capur kode. Oleh karena itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar.

B. Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode
1) Penyebab Terjadinya Alih Kode
Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu:
a. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang jawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan. Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka. Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga. Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak. Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak. Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B. Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.
b. Lawan Tutur
Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya..jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang. Tamu tersebut ingin mempraktekkan bahasa Indonesia yang telah ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makanya ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi peristiwa alih kode.
c. Hadirnya Penutur Ketiga:
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara. Mereka berdua adalah orang Jawa. Oleh karena itu, ketika berbicara, mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Jawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik, kawan Tini yang merupakan orang padang. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kenudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. kemudian ia bercerita tentang apa yang ia bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.
d. Perubahan Situasi
Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya. Sebagai contoh, dapat dijelaskan dari kutipan ilustrasi ini :
S : Apakah bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini ?
M : O, ya, sudah. Inilah!
S : Terima kasih.
M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaikikantor
sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan
tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju
harus berani bertindak ngono (... Sekarang jika usahanya ingin maju
harus berani bertindak demikian...)
S : Panci nganten, Pak (Memang begitu, pak)
M : Panci nganten, priye? (Memang begitu bagaimana?) Vika Aprilia : Analisis Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Lirik Lagu Baby Don’t Cry Oleh
Namie Amuro, 2010

S :Tegeshipun mbok modalipun kados menapa, menawi
(Maksudnya, betapapun besarnya modal kalau...)
M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbati kakehan, usahane
ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak hbungan,
dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi.
Begitu maksudmu?)
S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan!)
M : O, ya, apakah surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?
S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat
khusus.
Soewito dalam Chaer (2004:110-111)
Percakapan dimulai dengan menggunakan bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor dan yang dibicarakan adalah tentang surat. Situasinya Formal. Namun ketika yang bicarakan bukan lagi mengenai surat melainkan tentang sifat orang yang akan dikirimi surat tersebut dan situasinya berubah menjadi t idak formal atau informal (percakapan yang ditandai dengan menggunakan garis bawah), maka bahasa yang digunakan menjadi bahasa Jawa. Disinilah terjadi peristiwa alih kode. Selanjutnya ketika pembicaraan berubah lagi tidak membicarakan orang tersebut, melainkan kembali membicarakan masalah surat, maka situasi informal beruba h menjadi formal kembali dan terjadi lagi peristiwa alih kode. Hal ini juga dikarenakan kedua orang tersebut memiliki latar belakang bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa, maka pembicaraan berlansung lancar. Lain halnya jika mereka tidak memiliki latar belakang bahasa yang sama, maka mustahil pembicaraan akan diteruskan bahkan peristiwa alih kode pun pasti tidak akan muncul.
Alih ragam seperti dari ragam bahasa baku ke nonbaku termasuk ke dalam peristiwa alih kode karena pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya aalah komunitas bahasa (dialek). Para penutur yang sedang beralih kode berasal dari minimun dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktekkan. Sebaliknya alih ragam bukan berarti berganti komunitas. Alih ragam terjadi dalam bahasa yang sama, karena dorongan perubahan situasi berbicara, topik, status sosial, penutur dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan alih kode (bahsa atau dialek) dilakukan oleh dua pihak yang memiliki dua komunitas bahasa yang sama. Alih ragam hanya terjadi dalam satu bahasa dan satu komunitas saja.
e. Topik Pembicaraan
Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Seperti contoh ilustrasi tadi M dan S terlibat suatu percakapan. Ketika topik pembicaraan mereka mengenai surat, karena jabatan mereka adalah sekretaris dan atasannya dan percakapan ini berlangsung di kantor, maka mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa formal. Kemudian ketika topikberalih menjadi pribadi si penerima surat, maka bahasa yang mereka gunakanpun ikut beralih menjadi bahasa Jawa. Begitu juga ketika topik kembali berubah ke semula, maka bahasa merekapun kembali menjadi bahasa Indonesia.

2) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Sama halnya dengan alih kode, campur kodepun disebabkan oleh masyarakat tutur yang multilingual yang artinya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Namun, tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. Setyaningsih, dalam http://www.slideshare.net/ninazski/paper-sosling-nina mengatakan campur kode digunakan karena apabila seseorang yang sedang dalam kegiatan berkomunikasi tidak mendapatkan padanan kata yang cocok yang dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya, maka ia akan mencari padanan kata yang cocok dengan jalan mengambil istilah dari berbagai bahasa yang ia kuasai. Kemudian latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa

C. Jenis-Jenis Alih Kode dan Campur Kode
1) Jenis-Jenis Alih Kode
Alih kode merupakan bagian dari kajian sosioligustik yang membahas kode bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur dan hubungannya dengan lingkungan masyarakat tutur tersebut. Alih kode digunakan tergantung dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Maksudnya pengubahan kode bahasa terjadi tergantung pada siapa lawan bicaranya, dimana terjadinya, kapan, dengan tujuan apa dan sebagainya. Alih kode dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Wardaugh dan Hudson mengatakan, alih kode terbagi menjadi dua, yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.
a. Alih Kode Metaforis
Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik. Sebagai contoh C dan D adalah teman satu kantor, awalnya mereka menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah. Kebetulan C dan D tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan. Alih kode jenis ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika topik berganti.
b. Alih Kode Situasional
Sedangkan alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Sebagai contoh ayah sedang memarahi anaknya, ia menggunakan bahasa yang dapat dimengerti anaknya tersebut, kemudian datang tetangga dan menanyakan apa yang terjadi. Si ayah tidak mengganti topik pembicaraan, tetapi hanya merubah intonasi dan nada suaranya yang semula bernada marah dan kesal menjadi tenang dan mulai menjelaskan sebab ia memarahi anaknya tersebut.
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a) Alih Kode Intern
Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya
b) Alih Kode Ekstern
Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.

2. Jenis-Jenis Campur Kode
Dalam www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pdf, campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing)dan campur kode ke dalam (inner code-mixing).
a. Campur Kode Ke Luar (Outer Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggr is – bahasa Jepang, dll
b. Campur Kode Ke Dalam (Inner Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak– Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll. Dalam bahasa Jepang percampuran variasi bahasa dapat berupa penggunaan katakana sebagai bahasa serapan, dialek (osaka ben, kansai ben), ragam bahasa keigo ke futsu go dsb.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Baby Don’t cry dalam http://www.jpopasia.com/ play/2664/ namie-amuro/baby-dont-cry.html
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.
M.S, Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Puspitasari, Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files. wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press.
Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode (Lagi). dalam http://indonesia saram.wordpress.com/ \2007/04/22/tentang-campur-kode-lagi/.
Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana. Solo: Pustaka Cakra Surakarta.
Susilo, Wardoyo. 2008. Campur Kode dalam Teks Lagu Jepang pada Album First
Love oleh Utada Hikaru. dalam http://unesaprodijepang.word campurkode dalam teks lagu jepang pada album first love oleh utada
Suamarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Hiwatari,Yasutaka.Tanpa Tahun. Anglicisms, Globalisation, and Performativity

Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma

PELAJARAN MENGARANG


Pelajaran mengarang sudah dimulai.
“Kalian punya waktu 60 menit,” ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul yang pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang ke luar jendela. Ada dahan bergerak ditiup angin yang kencang. Ingin rasanya ia lari ke luar kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia terus-menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
”Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu tamu mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkannya tentang sebuah keluarga yang bahagia.
”Mama, apakah Sandra punya papa?”
”Tentu saja punya anak setan. Tapi tidak jelas siapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentu ia mau jadi papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra coba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk ke dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan rewel anak setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau ke luar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
”Anak siapa itu?”
”Marti”
”Bapaknya?”
”Mana aku tahu!”
Sandra sampai sekarang tidak mengerti, mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menunjuk-nunjuk mereka.
”Anak kecil kok dibawa ke sini sih?”
”Ini titipan Si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayapnya yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang Ibu. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.
Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah bangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, Mama, kenapa menangis mama?”
Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih teringat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan, ”Diam anak setan!” atau ”Bukan urusanmu anak Jadah!” atau ”Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik, jangan cerewet kamu anak sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
”Mama kerja apa sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa, yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari Minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan tiap kali Sandra makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan dengan es krim sambil berbisik, ”Sandra, Sandra....”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita, wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
”Berjanjilah pada mama, Kamu akan jadi wanita baik-baik Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Bukan, bukan seperti mama. Jangan seperti mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berprilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus-menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager....
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN, KAMAR 505, PKL 20.00.
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan sangat merindukan wanita itu, tapi, begitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
”Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu Guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari ke luar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
”Kertasmu masih kosong Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. ”Mama, Mama,” bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan, ”Mama, Mama,” dan pipinya basah oleh air mata.
”Waktu habis, kumpulkan semuanya ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah.
***

Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separuh dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong: Ibuku seorang pelacur...
Palmerah, 30 November 1991

(Dikutip dari Kompas Minggu, 5 Januari 1992)

Cerpen: Asneli Luthan

CALON SUAMI


Saya benar-benar bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini kerbau atau jawi! Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu?
Saya tak keberatan kalau saya mau. Apa salahnya kalau hal begitu memang enak dan menguntungkan. Masalahnya itulah, saya tidak mau. Hati saya menolak. Batin saya tidak sudi diajak kompromi. Tapi mereka: ibu, bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili saya yang paling dekat, mereka itulah yang harus saya hadapi. Mereka darah daging saya. Di mana secuil daging, setetes darah, sehelai rambut, setitik keringat yang ada dalam tubuh saya asal muasalnya dari mereka.
Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu.
Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!
Isi suratnya begini:
”Inne, kamu harus pulang setelah mendapat surat ini. Calon suamimu telah kami sediakan. Kalau kamu tidak pulang, buruk akibatnya. Dua adik perempuanmu yang tidak usah disebutkan namanya di sini, akan minggat dari rumah. Karena mereka ingin secepatnya kawin. Padahal mereka tak mau kawin kalau kamu belum kawin. Adik laki-lakimu tidak mau membantu uang dapur lagi, karena menurut mereka, giliranmu membantu untuk masa-masa selanjutnya. Kata mereka, hal tu akan bisa kamu lakukan kalau ada yang menjamin hidupmu. Penghasilanmu sendiri bisa membantu orang tua. Dan yang lebih penting, kalau kamu menolak lagi mayatmu kelak tidak akan dikunjungi keluarga. Camkan! Ini tidak main-main.”
Pada surat-surat mereka yang lalu, saya masih berhasil meyakinkan, bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. ”Saya ingin kawin. Tapi nanti saja, kalau Tuhan mengirimkan seorang laki-laki yang benar-benar pantas untuk seorang perempuan seperti saya. Tenang saja Bu, anak Ibu seorang yang istimewa, jadi teman hidupnya juga harus istimewa. Menemukan yang istimewa zaman sekarang ini susah, Bu,” kata saya dalam surat agar dia tenang dan bangga.
Kesempatan lain saya menulis:
”Tak usah khawatir atau malu, Bu. Banyak perempuan yang tidak kawin. Misalnya Henriette Roland Holst, Florence Nightingale, Jean d’arc, dan banyak lagi yang lain. Mereka itu dicatat sejarah dunia Bu. Perempuan-perempuan hebat!”
Maksud saya menulis semacam ini agar Ibu saya geleng-geleng kepala sambil berkhayal:
”Wah, hebat juga! Inne tentu akan sehebat mereka pula!”
Tentu saja saya tidak menulis nama nama Madame Currie, Indira Gandhi, Golda Meyr, dan nama-nama wanita hebat lainnya – yang kawin dan juga dicatat sejarah.
Tapi balasan ibu saya jauh di luar keinginan dan harapan saya.
”Alah, kamu hanya menutupi kelemahanmu saja. Katakan, kamu tidak mampu menarik hati laki-laki. Karena kamu keras kepala dan sombong. Mending wajahmu cantik!”
Saya tidak tahu, akhir-akhir ini ibu saya lain sekali. Surat-suratnya keras dan kasar. Tak mau lagi memanggil saya dengan nak, atau kata-kata lembut lainnya. Nampaknya sebel betul!
Tapi semuanya masih bisa saya tolerir, atau saya malah senang sekali menerima surat semacam itu. Setiap kata sering saya sertakan ketawa besar. Geli.
Yang terakhir ini:
Saya coba mengulur sedikit. Saya tanyakan lewat surat kira-kira macam apa gambaran calon suami saya yang telah mereka sediakan itu. Tidak lama, balasannya datang.
”Kamu kan bilang sumimu harus istimewa. Kami penuhi kehendakmu. Dia istimewa. Jangan banyak tanya lagi, pulang saja. Kebutuhan kenduri sudah kami sediakan ala kadarnya.”
Dengan helaan nafas panjang, jantung nyat nyut, kondisi pisik dan batin yang runyam, saya pun berangkat. Begitu terganggunya keadaan saya, sampai tidak tahu dengan kendaraan apa saya pulang. Lewat tanah, udara, air, atau bawah bumi. Tak tahu. Habisnya, sepanjang jalan tidak henti-hentinya saya berdoa. Mudah-mudahan calon suami saya itu betul-betul ideal dan idaman saya.
“Tuhan, tolonglah saya!” jerit saya dalam hati.
Sekonyong-konyong datang bayangan lain. Bagaimana kalau dia itu orang kaya? Punya perusahaan anu atau perkebunan besar. Diajak hidup layak, Atau siapa tahu, dia mau memperalat saya. Dari jauh dia sudah mempelajari kelemahan dan kekuatan saya, tinggal tancap saja nanti. ”Tuhan, tolonglah saya!”
Singkat cerita, akhirnya saya sampai di rumah. Nampaknya penyambutan saya benar-benar dirancang sedemikian rupa. Rumah begitu ramai oleh sanak famili. Mereka sangat senang dan bergembira. Setelah selesai basa-basi, saya tak sabar ingin menanyakan, bahkan sudah kebelet ingin ketemu Sang calon.
Kelihatannya mereka sengaja mengulur-ulur, menunggu agar saya penasaran. Ketika ke kamar mau ganti pakaian, saya beri kode ibu saya agar masuk kamar pula. Tanpa sopan sanun lagi, saya serang ibu saya. Saya tagih janjinya.
”Manaaa?”
”Apa?”
”Janjinya!”
”O, itu?”
”Iya, ibu bagaimana, sih?” (Dalam bahasa daerah tentunya)
”Sabar, dong”
Sialan!
Ibu saya ke luar kamar sambil mengedipkan matanya sebelah.
Besoknya saya disuruh ibu dan etek (tante) berdandan. Peralatannya sudah disediakan. Tinggal pakai.
”Kamu harus berhias secantik-cantiknya. Gaunmu harus benar-benar serasi,” kata etek saya sambil membantu memoles wajah saya.
”Kayak apaan, sih tek, orangnya?” usut saya sedikit demi sedikit.
”Pokoknya kamu bisa pingsan kalau tak kuat menahan diri,” kata etek saya.
”Wah, gawat dong.”
”Pokoknya kamu takkan percaya.”
Setelah saya merasa secantik bidadari atau monster, saya duduk di sebuah kursi yang telah disediakan. Sambil menunggu kejadian berikutnya, bibir saya tetap komat- kamit. Berdoa terus. Doa seorang yang pasrah. Terjadilah apa yang akan terjadi.
Pintu kamar dibuka. Siiirrrr. Di depan saya berdiri seorang laki-laki. Saya belum bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba mulut saya tertutup rapat, darah saya stop mengalir, saya deg-degan. Lazimnya perempuan dalam suasan begitu, saya menunduk. Malu.
”Silakan berkenalan....,” kata ibu saya sambil menutup pintu.
Diam. Diam. Hening. Hanya bunyi nafas.
Saya angkat kepala pelan-pelan. Oh, tidak sanggup! Tunduk lagi. Si calon masih tetap diam di tempat dan tak bersuara. Saya angkat wajah saya sekali lagi. Berhasil. Saya tatap dia. Lembut saja. Dia memberikan senyum. Sedikit. Dia ulurkan tangannya. Saya terima dan saya menyebut nama saya. Saya tetap nyat-nyut. Tapi dia tak menyebut namanya.
”Nama Anda?” tanya saya penuh perasaan. Dia tersenyum.
”Nama Anda?” ulang saya. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celamanya, lalu mengeluarkan secarik kertas.
Di situ tertulis . . . . segala macam.
Nama, alamat, umur, pekerjaan, suku, hobby, agama, bintang film kesayangan, hal-hal yang tidak disukai, makanan favorit, dan nama serta asal-usul orang tua.

***

Setelah kenduri selesai, kami (saya dan suami) bersiap-siap berangkat. Tak bisa terlalu lama, perkerjaan saya menunggu.
Sebelum berangkat, dengan pakaian kebaya dan dandanan seorang pengantin baru, berganti-ganti saya peluk ibu saya, bapak, etek, dan semua famili. Yang tentunya telah bersusah payah mencarikan suami buat saya. Ucapan syukur dan terima kasih. Betapa mereka telah menolong saya ke luar dari masalah pelik yang sekian tahun tak berhasil saya selesaikan.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya kira ibu tidak mengerti tentang saya selama ini, sehingga hubungan kita sering sendat. Rupanya tidak. Ibu mengerti dan memahami saya sedalam-dalamnya. Ibu tahu selera saya. Sampai kepada siapa yang pantas jadi suami saya. Terima kasih yang tak bertara. Pilihan keluarga, adalah idaman saya. Ideal sekali,” saya cium pipi ibu sebagai rasa terima kasih yang tulus. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan kepada ibu atau anggota keluarga dekat lainnya. Tradisi kami tak membiasakannya.
Ibu saya hanya menepuk-nepuk bahu saya.

***

Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi.


Jakarta, 79.-

Rabu, 07 Desember 2011

Pengertian Nilai

Pengertian nilai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai kadar banyak sedikitnya, nilai juga berarti sebagai sifat-sifat yang penting atau berguna bagi manusia, misalnya nilai pendidikan yang perlu diindahkan. Pengertian nilai menurut Drajadjat Zakiah, (1984:125) adalah sebagai berikut:
Suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang halus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, maupun prilaku.

Sejalan dengan pendapat di atas, Hamidi, (1993:1) mengatakan pengertian nilai itu adalah sebagai berikut:
Nilai merupakan pembendaharaan bahasa di mana-mana. Diantaranya sejumlah pembendaharaan bahasa dan budaya, nilai merupakan simbol yang sulit dirumuskannya, meskipun simbol atau teks paling sering diucapkan. Kesulitan itu terjadi pertama-tama karena nilai selalu diperlukan apa saja, terutama dalam tingkah laku, perbuatan manusia dan aktivitas manusia. Hampir tidak ada tingkah laku manusia yang terlepas dari nilai-nilai.

Berdasarkan pendapat Hamidy di atas bahwa nilai merupakan simbol yang sulit merumuskannya. Tidak ada keberadaan manusia yang terlepas dari nilai. Hal ini disebabkan karena nilai diperlukan dalam tingkah laku, perbuatan manusia dan segala aktivitas manusia di atur oleh nilai. Selain itu terhadap alam sekitarnya manusia berada dalam posisi menilai, karena lingkungan itu mempunyai peranan atau berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dengan demikian jelaslah bahwa manusia selalu bergelut dengan nilai sepanjang hidupnya. Manusia membentuk pandangan melalui nilai melalui nilai dan bersikap dengan nilai.
Selanjutnya dalam buku Falsafah Pendidikan Islam juga mengatakan definisi tentang nilai, bahwa nilai adalah sebagai berikut:
Nilai adalah suatu pola pormatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitarnya tanpa membedakan fungsi-fungsi bagian-bagiannya. Nilai lebih mengutamakan fungsinya pemeliharaan pola dari sistem sosial. (Arifin, 1987:11).

Pendapat Arifin tentang nilai hampir sama dengan pendapat Hamidy. Karena Arifin juga mengatakan bahwa nilai itu menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang berkaitan dengan lingkungan sekitarnya. Dari kedua pendapat tersebut cukup jelas bahwa nilai itu mengatur tingkah laku manusia terhadap sesama, disamping itu nilai juga mengatur tingkah laku terhadap lingkungannya.
Selanjutnya Hamidy (1993:49) mengatakan ada tiga sistem nilai yang hidup dalam arti dipelihara oleh masyarakat, dihayati dan diindahkan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya sistem nilai yang diberikan oleh agama Islam. Perangkat nilai ini merupakan sistem nilai yang tinggi kualitasnya, paling bagus dan ideal.
Nilai termasuk bidang kajian filsafat, persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai. Filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai dan melakukan penilaian.
Menilai berarti menimbang suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kemudian untuk selanjutnya diambila keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Medan. 1987. Filsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Daradjat, Zakiah. Dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hamidy. 1993. Nilai Suatu Kajian Awal. Pekanbaru. UIR Press.

Selasa, 06 Desember 2011

LAPORAN BACAAN (MEMBACA SATRA; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi)

A. Pendahuluan
Membaca merupakan suatu aktivitas penting. Melalui kegiatan itu kita dapat memperoleh suatu gagasan. Melalui kegiatan itu juga kita akan dapat memperoleh kesimpulan dan berbagai pandangan dari pengarang melalui bukti tertulis itu. Cara atau kegiatan lain dapat juga dipakai untuk mencapai tingkat pemahaman tentang sesuatu walaupun cara itu kurang efektif jika dibandingkan dengan membaca. Pakar-pakar membaca menyebutkan tentang adanya sebuah pendapat yang mengatakan tidak semua pemahaman tentang sesuatu diperoleh dari kata-kata yang ditulis. Dengan kata lain, pemahaman tentang sesuatu dapat saja diperoleh dari kata-kata lisan atau dari pengamatan terhadap objek yang bersangkutan. Namun demikian mereka mengakui juga bahwa mendapatkan pemahaman tentang sesuatu dengan cara seperti itu tidaklah mencukupi. Kegiatan yang sangat penting yang dapat digunakan untuk memperoleh pemahaman yang lebih banyak adalah membaca.
Merupakan suatu kebenaran bahwa untuk mendapatkan sesuatu dengan jalan membaca akan mengeluarkan pengorbanan tertentu. Setiap kegiatan yang harus kita lakukan untuk memperoleh bahan bacaan (objek membaca) itu merupakan salah satu sisi pengorbanan yang dimaksud. Terkadang orang melakukannya dengan cara meminjam, membeli, atau dengan cara yang tidak etis. Tidak sedikit pula pembaca yang mengalami kesulitan guna memahami bacaan. Hal ini merupakan pengorbanan lain bagi pembaca. Banyak orang beralasan, belum membaca suatu bacaan karena dihadapkan kesibukan yang tidak pernah habis-habisnya, tidak ada waktu untuk membaca.
Dalam laporan bacaan ini pembaca membaca buku yang berjudul “Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Dikarang oleh Melani Budiman dan kawan-kawan. Penerbit Indonesia Tera. Terbit pada tahun 2003 cetakan kedua bulan September. Kota penerbit Magelang: Indonesia Tera. Tebal buku 156 halaman; 21 cm. Perancang sampul W. Ida Lazarti. Perwajahan; Saka Weda.
Garis besar isi buku ini adalah pertama, Kata Penagantar yang berisikan tentang hasil kerja sama dalam membentuk sebuah karya yang ditulis mereka dan berharap agar para pembaca (mahasiswa) diberbagai jurusan dan program studi memiliki keahlian dan pengetahuan yang kurang lebih setara setelah mereka menyelesaikan mata kuliah pengantar tersebut. Kemudian penulis berharap penyempurnaan dalam segala aspek akan terus dilakukan, dan masukan serta saran dari para pengguna buku ini akan sangat bernilai bagi proses tersebut. Kedua, Daftar Isi yang berisikan judul-judul dan subjudul-subjudul pada setiap bab dan sudah disediakan halaman judulnya. Ketiga, dari halaman 3—23 berisikan (berjudul) tentang SASTRA; Sastra itu Apa?, Sastra: Antara Konvensi dan Inovasi, Fungsi Sastra, Produksi dan Reproduksi Sastra. Ketiga, dari halaman 31—58 berisikan (berjudul) PUISI; Puisi itu Apa? Unsur-unsur Pembangun Puisi, Aneka Ragam Puisi. Keempat, dari halaman 77—89 berisikan (berjudul) PROSA; Prosa: Struktur Narasi, Unsur-unsur Prosa: Tokoh, Latar, Alur. Struktur Penceritaan/Penuturan. Kelima, dari halaman 95—111 berisikan (berjudul) DRAMA; Hakikat Drama, Karakteristik, Elemen Drama, dan Sarana Dramatik, Pengkategorian Drama. Keenam, dari halaman 119—156 berisikan (berjudul) CATATAN UNTUK MENGAJAR; Catatan untuk Pengajar Sastra, Catatan untuk Pengajar Puisi, Catatan untuk Pengajar Prosa, Catatan untuk Pengajar Drama. Ketujuh, Daftar Pustaka yang berisikan rujukan-rujukan bagi penulis dalam menulis karyanya. Kedelapan, DAFTAR ISTILAH yang berisikan tentang kata-kata sulit yang harus dijelaskan dalam daftar tersebut, sehingga pembaca mudah memahami kata-kata tersebut. Kesembilan, LAMPIRAN yang berisikan hasil karya-karya para penulis seperti Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, Clara karya Seno Gumira Ajidarma, Surat Kepada Anak-Anak yang Memilih untuk Diam dalam Kepatuhan karya Karlina Leksono-Supelli, Tanah Sang Raksasa karya Dwi Setyawan, Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat K. Miharadja. Kesepuluh, BIODATA PENULIS yang berisikan tentang pendidikan dan karya-karyanya yang sudah berhasil ditulisnya.

B. Bagian Buku yang dibaca
(Bab IV: Drama dan Bab V: Catatan Untuk Pengajar)
 Bab 1V: Drama
1) Hakikat Drama
Tahap awal dalam mengenal hakikat drama ini penulis langsung menjelaskan apa itu drama atau pengertian drama. Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh. Kemudian penulis mengenalkan sastra ini yaitu drama adalah dengan memberikan contoh-contoh terlebih dahulu. Kemudian setelah mahasiswa membaca dan memahami isi drama tersebut, mahasiswa itu akan mengerti sendiri hakikat drama dan mengetahui bahwa drama itu tidak hanya dipentaskan di atas panggung yang diperankan oleh tokoh masing-masing. Akan tetapi ada pula drama itu yang hanya dibaca yang di sini lazim disebut sebagai closet drama atau “drama baca” dalam istilah Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa sebuah pementasan drama tidak selalu berdasarkan sebuah naskah atau teks drama.
Dalam bab ini penulis juga mengenalkan tentang sejarah singkat “drama dan teater”. Tujuan penulis memperkenalkan sejarah drama ini agar pembaca mengetahui asal dari istilah drama dan teater tersebut, mengapa drama dan teater itu bisa muncul dalam kehidupan ini. Mengapa drama dan teater berbeda. Pada masa siapa dikemukakan drama dan teater ini. Dan dari kebudayaan atau tradisi mana asal kata drama dan teater ini muncul. Drama dan teater ini datang dari khazanah kebudayaan barat. Asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra Yunani. Drama dan teater ini muncul dalam upacara keagamaan dan dijadikan pemujaan terhadap dewa. Menurut sejarahnya teater dimaksudkan sebagai ‘gedung pertunjukan, panggung’, atau ‘publik, auditorium’ pada zaman Herodotus (490-424 SM), dan ‘karangan tonil’ sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian lama. Setelah mahasiswa mempelajari sejarah singkat drama tersebut, pengajar memberikan tugas kepada siswa.
Setelah Melani dan kawan-kawan menguraikan tentang hakikat drama; sejarah singkat drama, penulis juga memberikan kegiatan dan tugas kepada mahasiswa untuk mengetahui kemanpuan mahasiswa dalam memahami hakikat drama. Dalam kegiatannya mahasiswa disuruh melakukan kegiatan berkelompok melakukan diskusi menegenai kutipan drama yang mereka kerjakan. Tugas, pengajar memberikan tugas kepada mahasiswa menganalisis sebuah kutipan drama pada media masa; Pengajar menyuruh mahasiswa mencari cuplikan dari majalah bulanan Matra, No. 172, edisi bulan November 2000, berjudul “Addie M.S.: Gus Dur dan Aku Satu Aliran”, mahasiswa disuruh memberikan alasan mengapa kutipan tersebut sama dengan sebuah teks drama, akan tetapi mengapa kutipan ini tidak mungkin dikatan drama?

2) Karakteristik, Elemen Drama, dan Sarana Dramatik
Setelah mempelajari hakikat dan sejarah singkat drama, pengajar memperkenalkan karakteristik drama, elemen drama, dan sarana dramatik. Pada subbab ini penulis tidak langsung membuat definisinya, akan tetapi mengajak pembaca memahami apa yang diuraikan panjang lebar dalam buku ini. Kemudian memberikan contoh pementasan drama/petunjuk pemanggungan. Contoh tersebut dituliskan dalam buku itu, hingga para pembaca tahu teks drama yang dibacanya. Melani dan kawan-kawan menjelaskan bahwa pementasan drama sangat banyak yang tidak didasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasarkan novel, cerpen, puisi, atau bahkan lagu. Dalam pementasan drama, sebelumnya ada yang namanya penciptaan karya drama yang disebut dengan “cakapan dan dialog” adalah suatu drama yang telah disediakan oleh penulisnya agar cerita atau kisah yang ditampilkan itu nantinya berujud suatu percakapan yang diujarkan oleh para pemain sehingga pendengar atau penonton (audience) dapat mengikuti alur cerita melalui apa yang mereka dengar. Pada intinya dalam subbab ini penulis mencerminkan bagaimana karakter masing-masing tokoh dalam pementasan drama/petunjukan drama.
Drama mempunyai alur, tokoh-tokoh dan kerangka situasi cerita yang saling menunjang satu sama lainnya, ini adalah elemen-elemen karya drama pada prosa. Melani menjelaskan bahwa prosa dalam karya sastra drama cendrung lebih mengutamakan alur dari pada tokoh-tokohnya. Prosa ini lebih mengutamakan narasi. Dalam subbab ini penulis menjelaskan sifat alami drama. W.H. Hudson (1958) mengemukakan adanya dua jalur pendapat, yaitu (a) alur lebih dipentingkan, sedangkan tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan (b) tokoh yang lebih penting, sedangkan alur hanya dipergunakan untuk mengembangkan tokoh. Melani juga menjelaskan bahwa drama yang baik itu harus selalu memperlihatkan adanya konflik-konflik. Dalam buku ini Melani dan kawan-kawan secara mendalam menjelaskan bagaimana tentang karakteristik drama, elemen-elemennya, kemudian dalam elemen-elemen itu diperjelas lagi sifat-sifat drama dan konflik-konflik. Sehingga para pembaca ketika ingin mementaskan sebuah drama sudah tahu aturan mainnya untuk mementaskan drama dengan baik. Semakin banyak konflik dalam naskah drama yang akan ditampilkan maka semakin baiklah drama tersebut. Dalam buku Melani dan kawan-kawan memberikan penjelasan tentang hidupnya sebuah drama yang akan dipentaskan maka penulis memanfaatkan berbagai sarana dramatik, yaitu dengan monolog, solilokui, dan sampingan. Selain memberikan pengetahuan tentang karakteristik, elemen drama, dan sarana dramatik, pengajar memberikan tugas agar masing-masing mahasiswanya terlatih dan mahir dalam praktiknya di lapangan nanti. Mahasiswa diberi tugas untuk menonton sebuah pementasan drama atau sinetron. Kemudian mencatat hal-hal penting dari pementasan drama atau sinetron itu. Seperti unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Mahasiswa juga disuruh membuat laporan tentang drama atau sinetron yang sudah ditontonnya. Selain memberikan tugas, pengajar juga memberikan kegiatan kepada mahasiswa secara berkelompok untuk mendiskusikan dalam memerankan sebuah drama.
Subbab yang terakhir adalah pengkategorian drama. Dalam subbab pengkategorian ini sepertinya melanjutkan penjelasan dari karakteristik drama secara mendalam. Dijelaskan dalam uraian itu secara mendalam bagaimana sebuah drama itu dipentaskan dengan baik sebelum dilaksanakan. Kemudian sudah ada penjelasan-penjelasan dari pengkategorian drama itu. Dalam subbab ini dijelaskan tentang bentuk-bentuk drama yang akan nantinya dipentaskan oleh para tokoh pemain. Dengan mengetahui bentuk drama ini para pemain drama bisa membedakan drama yang akan dimainkan sesuai dengan karakter mereka masing-masing. Pada subbab ini dituliskan terlebih dahulu bentuk-bentuk drama itu. Kemudian baru dijelaskan satu persatu bentuk-bentuk drama itu secara rinci.
Adapun bentuk-bentuk drama itu adalah tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce. Trgedi adalah sebuah drama yang ujung kisahnya berakhir dengan kedukaan dan dukacita. Sebaliknya komedi berakhir dengan sukacita. Tragikomedi adalah drama yang merupakan panduan dua kecendrungan emosional yang sangat mendasar bagi diri manusia. Sedangkan melodrama berasal dari alur opera yang dicakapkan dengan iringan musik. Kemudian bentuk drama yang terakhir adalah farce yang secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah sajian drama yang bersifat karikatural. Sebagai kisahan, ia bercorak komedi, tetapi gelak yang muncul itu sendiri ditampilkan melalui ucapan dan perbuatan. Dalam konteks masa kini, banyak yang menyamakan farce dengan ‘komedi situasi” disejumlah tayangan televisi. Pengajar memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk menganalisis karya drama dan membuat naskah drama yang dikembangkan dari genre sastra lain.

 Bab V: Catatan untuk Pengajar
1. Pengertian Sastra
Tahap awal catatan untuk pengajar dalam buku ini adalah menjelaskan pengertian sastra. Melani dan kawan-kawan mengajak mahasiswa untuk mengetahui pengertian sastra bukan dengan cara yang biasa (dijelaskan) tetapi melalui pertanyaan mendasar “sastra itu apa?” yang mana nanti mahasiswa itu sendiri yang akan menjawabnya langsung. Di sini juga dijelaskan kalau mengajar itu bukanlah berfungsi sebagai orang yang paling tahu segala-galanya, tapi melainkan sebagai fasilitator. Kegiatan pertama yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menetukan pengertian sastra itu adalah memahami antara teks sastra dengan teks ilmiah kemudian membandingkannya. Pengajar biasa langsung menyodorkan kepada mahasiswa contoh karya ilmiah dan contoh karya sastra. Dengan demikian mahasiswa yang langsung aktif menemukan pengertian tersebut.
Pengertian sastra dalam kegiatan ini dapat ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri melalui prinsip keabsahan penafsiran makna, mahasiswa bebas untuk memberikan makna yang absah, di sini pengajar tidak boleh mentertawakan jawaban yang aneh. Kemudian barulah nanti pengajar mengajak mahasiswa untuk menentukan jawaban mana yang dapat diterima. Selanjutnya mahasiswa juga diajak untuk melihat makna ganda pada sebuah karya sastra, dengan membaca contoh karya sastra maka mahasiswa diharapkan biasa menyimpulkan bahwa sastra memiliki lebih dari satu makna tergantung dari sudut mana menafsirkannya.
Setelah mahasiswa memahami karakteristik sastra dari segi makna, kegiatan selanjutnya adalah mahasiswa membandingkan sendiri antara karya sastra dengan karya ilmiah yang dilihat dari segi makna, dan bahasa yang digunakan pada kedua jenis karya tersebut. Sebagai kegiatan akhir, pengajar memberi tugas menemukan unsur sastra dalam kehidupan sehari-hari yang biasa dilihat pada teks iklan, buku harian, pidato, esai dan lain sebagainya. Buku ini juga memberikan catatan penting untuk pengajar bagaimana mengantarkan mahasiswa memahami perbedaan sastra dan non sastra yang bersifat relatif, artinya mahasiswa bisa melihat bahwa perbedaan sastra itu bisa disebabkan oleh budaya. Pengajar menyuruh mahasiswa membandingkan karya pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya, maka di sana mahasiswa akan menemukan perbedaannya. Kegiatan ini juga dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa kemanpuan mengapresiasi sastra dapat bermanfaat untuk meningkatkan kemanpuan mengolah kata dalam kehidupan sehari-hari.
Berikutnya buku ini juga menganjurkan pengajar untuk mengajak mahasiswa menentukan fungsi sastra itu sendiri. Tentu setelah mahasiswa membaca beberapa contoh karya sastra. Dengan demikian mahasiswa akan menemukan fungsi karya sastra itu untuk mendidik, menghibur, mengkritik, dan lain sebagainya. Sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Selain menentukan fungsi sastra, dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana pengajar memancing mahasiswa untuk menciptakan karya sastra yaitu dengan cara memahami komponen dalam produksi dan reproduksi karya sastra yang terdiri atas pengarang, karya sastra, pembaca, penerbit, kritikus, pemerintah, dan lembaga-lembaga pndidikan yang terkait dengan apresiasi dan reproduksi karya sastra tersebut.
Agar mahasiswa dapat menggunakan berbagai variasi dalam menciptakan karya sastra, pengarang dalam buku ini memberikan tips kepada pengajar dalam metode belajar-mengajar yaitu dengan cara mengundang pembicara tamu atau mengatur pemutaran video. Setelah mahasiswa mengerti betul tentang hakikat sastra, maka selanjutnya adalah bagaimana pengajar memberikan penjelasan tentang bagian-bagian dari sastra.

2. Puisi itu apa?
Pada subbab ini pengarang mengajak pengajar bagaimana cara mendefinisikan puisi tersebut. Di sini pengarang tidak menjelaskan defenisi puisi secara langsung, melainkan dengan cara memberikan kepada mereka teks-teks yang bersifat puitis yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya: lirik lagu, iklan, surat cinta dan sebagainya. Setelah itu pengajar meminta komentar tentang teks-teks yang telah disajikan, dan barulah sesudah itu secara bersama menyimpulkan secara bersama pengertian puisi tersebut. Tahap berikutnya adalah pada kegiatan mahasiswa. Di tahap ini pengajar biasa membentuk mahasiswa menjadi beberapa kelompok, kemudian mereka menampilkan sebuah karya sastra yang di dapat dari berbagai teks yang telah ada. Baik dari lirik lagu, surat cinta maupun dari teks yang lainnya yang ada unsur puitisnya. Setelah itu masing-masing kelompok mendiskusikan makna-makna yang terkandung dalam teks tersebut sesuai dengan bahasa kepuitisannya. Kemudian barulah masing-masing kelompok tampil ke depan, dan kelompok yang lain mengomentari dan memberikan masukan yang tepat. Barulah untuk tahap akhir, mahasiswa di beri tugas untuk menentukan unsur-unsur puitis pada puisi yang telah disediakan. Tugas ini dikumpul pada akhir semester. Tugas ini dilakukan boleh berkelompok atau individual.
Buku ini juga memberikan penjelasan kepada pengajar bagaimana cara menjelaskan unsur-unsur pembangun puisi. Di sini peran pengajar lumayan besar, dilihat dari berbagai unsur-unsur yang ada dalam sajak. Pada sejumlah sajak yang ada, istilah-istilah yang berkaitan dengan gaya bahasa, dan bunyi yang harus dikuasai mahasiswa, kemudian juga ada berbagai istilah penting lainnya yang juga harus dikuasai. Pengajar harus rajin melihat daftar istilah asing untuk membantu mahasiswa.Pangajar dianjurkan dapat memberikan contoh-contoh sederhana dari latar belakang bahasa asing baik dari bahasa Manca Negara maupun bahasa daerah yang ada di Indonesia. Selain itu pengajar juga memberikan sedikit defenisi-defenisi yang bersifat nonintrinsik yang hal ini perlu diketahui oleh mahasiswa bahwa tidak hanya unsur intrinsik yang menentukan apakah sebuah karya itu dapat dikatakan sebagai puisi atau tidak.
Sebagai latihan ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengajar. Pertama mahasiwa dibentuk kelompok, kemudian mereka mencoba menemukan teks-teks yang di dalamnya terdapat gaya bahasa. Mereka dapat menandai dengan stabilo. Kepada pengajar jangan terlalu berharap akan kesempurnaan jawaban mahasiswa karena mereka baru dalam tahap belajar. Namun pada sisi yang lain, pengajar harus bersiap-siap dengan berbagai kejutan jawaban yang menarik dari mahasiwa yang cerdas. Setelah mereka mendapatkan berbagai informasi dari sajak yang mereka bahas, sekarang pengajar mengajak mereka ke dalam kelompok baru, usahakan dalam kelompok ini, masing-masing perwakilan dari kelompok lain ada. Berikutnya ada tahap kedua, pada kelompok yang baru mereka saling berbagi informasi dari apa yang mereka dapat pada kelompok sebelumnya. Setelah itu mereka ditugaskan untuk membuat ringkasan. Waktu yang diberiakan berkisar 30-40 menit. Pengajar berada pada garis belakang yang siap memberikan arahan dan bantuan yang diperlukan namun bukan jawaban. Kegiatan yang ketiga adalah mahasiswa mencari tahu teknik-teknik untuk menentukan unsur pembangun sastra dari kegiatan yang telah mereka lakukan.Untuk tugas, pengajar memberikan teks sajak kepada mahasiswa, kemudian mereka menentukan unsur-unsur pembangun puisi di dalamnya serta mereka juga harus menentukan maknanya juga. Berikutnya pengajar mengajak mahasiswa untuk melihat berbagai ragam puisi. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mengenali barbagai ragam puisi dari berbagai latar belakang budaya dan zaman. Dengan ini, akan memperkaya pengetahuan mahasiswa tentang sejarah puisi dan mereka akan bertambah dalam pengetahuannya tentang puisi.
Selain puisi, ada genre sastra lain yang dibahas dalam buku ini yaitu prosa. Di sini pengajar juga diberi catatan-catatan penting ketika mengajarkan prosa tersebut kepada mahasiswa. Tugas pengajar dalam hal ini adalah bagaimana memperkenalkan salah satu genre sastra yang berbentuk cerita (kisahan) kepada mahasiswa, dan mahasiswa dapat membedakannya dengan puisi. Adapun tujuan dari pelajaran kali ini adalah bagaimana pengajar membiasakan mahasiswa membaca karangan prosa serta melihat unsur penting, kurang penting dan tidak penting yang membangun prosa tersebut (narasi) sehingga mahasiswa akan lebih mudah memahami cerita secara komprehensif.
Tugas utama pengajar yang dijelaskan dalam buku ini yaitu membawa mahasiswa membaca karangan prosa tidak melalui ringkasan, tetapi membaca secara keseluruhan. Karena dengan membaca secara menyeluruh maka mahasiswa akan memahami secara mendalam hal-hal apa saja yang terkandung di dalamnya khususnya dari segi keindahannya. Setelah mahasiswa mau membaca karangan prosa secara keseluruhan, maka tahap selanjutnya yang dilakukan oleh pengajar adalah memberikan kegiatan kepada mahasiswa. Pertama, mahasiswa dibentuk dalam kelompok, mereka mendiskusikan sebuah karangan prosa, mereka bebas memberikan argumentasi dan berdiskusi secara leluasa. Kedua, tunjuk sebuah kelompok untuk membuat ringkasan yang akan dipresentasikan kedepan. Ringkasan yang telah jadi ditampilkan oleh kelompok itu ke depan kelas, dan kelompok lain mengomentari dan memberikan masukan, sehingga ringkasan yang tepat mudah untuk didapat. Selanjutnya pengajar menyiapkan teks-teks prosa lain untuk dibahas oleh individu, pengajar juga. Seperti dongeng, dan catatan-catatan harian dan biasa juga unsur sastra yang didapat dalam surat kabar. Setelah itu mahasiswa ditugaskan untuk mencari berbagai istilah-istilah penting untuk menambah kekayaan bahasanya. Buku ini juga memberikan catatan penting kepada pengajar untuk mengajak mahasiswanya tidak hanya sekedar membaca tetapi mereka juga harus manpu menentukan unsur-unsur dalam prosa itu sendiri. Setelah mahasiswa membaca karangan prosa, maka mereka akan menemukan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya baik tokoh utama maupun tokoh lainnya. Selain itu latar, alur, suasana cerita, amanat juga akan tergambar ketika mereka telah membacanya. Dengan demikian pengajar membimbing mahasiswa untuk berdiskusi tentang unsur-unsur tersebut. Sehingga mahasiswa akan memahami sendiri unsur-unsur yang membangun sebuah unsur prosa tersebut.
Setelah mahasiwa memiliki pengetahuan tentang unsur-unsur prosa, kini tibalah saatnya pengajar memberikan hal yang tidak kalah pentingnya yang ada dalam prosa, yaitu struktur penceritaan/penuturan. Dalam membaca karangan prosa, mahasiswa diharapkan manpu melihat sudut pandang penceritaannya. Di sini pengajar manpun membawa mahasiswa untuk melihat sudut pandang dalam sebuah cerita apakah menggunakan sudut pandang orang pertama atau malah pengarang memakai kata aku sebagai unsur imajinatif saja. Maka mahasiswa harus biasa membedakan antara pengarang dan pencerita. Untuk kegiatan, pengajar bisa menyuruh salah seorang mahasiswa untuk membacakan hasil laporan bacaannya ke depan kelas. Berikut pengajar membagi mereka menjadi beberapa kelompok dan mendiskusikan sudut pandang dari carita yang dibacakan. Pangajar bisa juga menyuruh mahasiswa menambah cerita yang lain. Baik perhatian pendengar terhadap keberagaman fenomena, termasuk menandai dari awal giliran penutur, suatu topik baru, penekanan khusus atau membandingkan, atau informasi baru. Brown dan asosiasi peduli dengan bagaimana penutur-penutur mengatur interaksi, dalam bagian ‘turn-taking’ dan penandaan topik dan bagaimana penutur-penutur menggunakan tingkatan nada untuk berinteraksi. Kemudian, kelihatannya ada hubungan dalam bahasa inggris antara permulaan dari suatu topik yang baru dalam tuturan dan pergantian menjadi lebih tinggi (lihat juga Menn dan Boyce 1982; Crutenden 1986: 129).
Kemudian dalam bab ini memperkenalkan kepada mahasiswa tentang hakikat drama. Pengajar tidak secara langsung menjelaskan hakikat drama (istilah drama dan teater), akan tetapi mahasiswa diberi kesempatan terlebih dahulu menjelaskan tentang drama. Beberapa mahasiswa diminta oleh pengajarnya untuk memberikan pendapat dan komentar berdasarkan pengetahuan yang selama ini telah dipahami. Pengajar tidak harus menuntut penjelasan ataupun pendapat mahasiswa itu betul semua. Tugas pengajar, jika penjelasan mahasiswa melenceng dari apa yang diharapkan, pengajar bertugas meluruskan pendapat tersebut. Begitu pula sebaliknya jika pendapat atau pun penjelasan mahasiswa telah mendekati pengertian yang logis dan benar secara substansial, maka pengajar cukup mengarahkan kepada pemahaman melalui contoh-contoh yang sesuai dengan khazanah sastra yang dikuasai pengajar. Kemudian jika pengajar memerlukan bantuan dalam menjelaskan pengertian drama dan teater, pengajar bisa merujuk kepada kamus istilah sastra. Untuk lebih lanjutnya agar pemahaman mahasiswa semakin meluas, pengajar perlu mencari beberapa contoh karya drama yang telah berulang kali dipentaskan dan sejumlah karya drama yang belum pernah sama sekali dipentaskan. Untuk kegiatan, pengajar memberikan kepada mahasiswa untuk secara sadar bahwa apa yang disebut “sinetron” dan film-film dibioskop sebagai varian saja dari “drama”. Kemudian pengajar memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membandingkan kedua teks—drama dengan wawancara—secara bebas.Kemudian mahasiswa diminta untuk mengungkapkan pendapatnya atau pendapat kelompoknya yang diwakili oleh satu orang dari kelompok mereka masing-masing. Kemudian siswa ditugasi lagi untuk mencari beberapa buah drama, kemudian dipresentasikan pada perkuliahan minggu depan.
Kemudian pada bab ini dipelajari juga tentang karekteristik, elemen drama, dan sarana dramatik. Dalam subbab ini siswa tidak langsung diperkenalkan terlebih dahulu tentang karekteristik, elemen drama, dan sarana dramatik, akan tetapi diberi uraian-uraian, penjelasan-penjelasan, dan contoh-contoh drama. Kemudian mahasiswa dipaksa mencari contoh-contoh drama berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka atau pengetahuan mereka selama ini. Pengajar dapat memberikan penjelasan kepada mahasiswa bahwa dalam pementasan dan pengetahuan tentang drama itu ada tiga buah sarana dramatik yang sangat berperan penting dalam sebuah drama dan memperlihatkan keunikan, yaitu monolog, solilokui, dan sampingan. Setelah mempelajari karekteristik, elemen drama, dan sarana dramatik, guru memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk melihat drama pementasan drama secara tekun kemudian mahasiswa direncanakan untuk mementaskan drama dengan mengundang sebuah kelompok drama di luar kampus maupun di dalam kampus. Pada subbab ini menjadi catatan pengajar agar termotivasi untuk lebih giat lagi memperdalam ilmu sastra dan tidak malas-malasan melihat pementasan drama yang bermacam-macam karakter agar pengetahuan lebih luas.
Subbab terakhir adalah mengenai Pengkategorian Drama. Pengajar di sini bertugas membicarakan lima jenis drama kepada mahasiswa agar mahasiswa bisa membedakan drama yang akan dipentaskannya dan bisa menyesuaikan dengan karakter seseorang. Lima jenis drama itu ialah tragedy, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce. Pengajar juga menjelaskan tentang penjadian drama dan faktor yang menunjang penjadian drama yang akan dipentaskan. Faktor penunjang itu adalah dengan melihat kondisi gedung kesenian, tradisi penonton, serta dana yang diperlukan untuk latihan pementasan drama. Berkenaan dengan tugas, pengajar memberikan tugas kepada mahasiswa secara individual mengapresiasikan sebuah karya drama atau sebuah pementasan drama dengan menekankan pada satu pokok persoalan saja, misalnya pada penokohan saja, kecendrungan tematiknya atau pola alurnya saja. Pada subbab ini catatan bagi pengajar agar bisa terampil percaya diri dalam mempraktikkan segala hal yang berkenaan dengan sastra khususnya drama.

C. Komentar Penulis Laporan
Buku ini (membaca sastra) karangan Melani dkk. ini dari segi isinya sangat bagus dan memenuhi keinginan pembaca dalam mempelajari dan memperdalam ilmu sastra. Seperti halnya mempelajari tentang puisi, prosa, dan drama. Bab dan subbabnya di atur secara sistematis, mulai dari pengertian/definisi sampai akhirnya apa yang termasuk dalam materi yang dijabarkan. Dalam buku ini penulis juga membuat catatan bagi guru sastra dalam mengajarkan muridnya bersastra dan praktiknya di lapangan. Buku ini juga memuat bab dan subbab secara umum dan terperinci, sehingga mudah bagi pembaca dalam memahami dari awal-akhir. Seperti halnya penulis mengenalkan tentang apa itu sastra? Sehingga para pembaca sebelum mengetahui puisi, prosa, dan drama itu mereka sudah mengetahui apa itu yang dikatakan dengan sastra. Kemudian penulis mengenalkan fungsi sastra itu apa? Sehingga para pembaca tidak merasa rugi membaca buku tentang sastra dan mempelajari ilmu sastra. Kemudian produksi dan reproduksi sastra. Melani dan kawan-kawan juga menuangkan ke dalam bukunya tentang apa yang dihasilkan oleh sastra/diproduksinya. Dengan adanya produksi ini pembaca merasa bermanfaat dalam membaca dan mempelajari buku ini.
Setelah Melani dan kawan-kawan memperkenalkan apa itu sastra? Barulah masuk kepada bagian-bagian dari sastra itu. Seperti puisi, prosa, dan drama. Materi tentang puisi, prosa, dan drama dalam buku ini penulis menjabarkannya secara mendalam. Puisi, pertama penulis mengenalkan kepada pembaca tentang apa itu puisi, kemudian kedua, unsur-unsur pembangun puisi, dan yang ketiga aneka ragam puisi. Agar seorang pengajar sastra mengetahui kemanpuan mahasiswa dalam memahami tentang puisi ini, penulis menyediakan tugas-tugas dalam buku “membaca sastra” ini. Prosa, penulis mengenalkan prosa langsung kepada struktur narasi, kemudian menenalkan tentang unsur-unsur yaitu mengenai tentang tokoh, latar, dan alur. Dan yang terakhir penceritaan/penuturan. Tak kalah pentingnya penulis juga membuatkan kegiatan-kegiatan dan tugas agar pengajar bisa mengetahui kemanpuan mahasiswa dalam memahami prosa. Drama, penulis memperkenalkan drama pertama kali kepada pembaca tentang hakikat drama, dalam hakikat drama ini penulis memperkenalkan pengertian/definisi, dan sejarah singkat drama. Kemudian karakter, elemen drama, dan sarana dramatik. Pada subbab ini penulis memperkenal karakter drama yang akan dipelajari dan dipentaskan di depan umum. Kemudian terakhir pengkategorian drama. Pada bab ini penulis memberika kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas agar mahasiswa terlatih dalam mengaplikasikannya di depan umum.
Bab yang terakhir adalah “catatan untuk pengajar”. Dalam catatan ini pengajar dituntut untuk mempelajari ilmu sastra seperti halnya puisi, prosa, dan drama agar lebih mahir mengajarkan kepada siswanya. Dalam catatan ini penulis memberikan semacam motivasi kepada pembaca (pengajar) agar mengajarkan ilmu sastra kepada siswa lebih baik dan terarah. Saya (pembaca) merasa buku ini sangat bagus dan sangat mendalam dalam mempelajari ilmu sastra khususnya tentang puisi, prosa, dan drama.
Pembaca, juga membaca buku tentang sastra yaitu berjudul “Teknik Pembelajaran Bahasa dan sastra sebagai bahan perbandingan. Buku ini dikarang oleh Suyatno. Penerbitnya adalah SIC. Cetakan pertama 2004. Ketebalan bukunya 153 halaman. Dilihat dari isi bukunya sama halnya dengan buku yang lain yaitu adanya kata pengantar penulis, daftar isi, bab dan subbab materi yang akan dijabarkan. Kemudian daftar pustaka/rujukan.Dalam buku Suyatno (teknik pembelajaran bahasa dan sastra) ini jika penulis bandingkan dengan buku melani dkk. (membaca sastra) secara umum, buku Suyatno ini jika dilihat dari “Teknik pembelajaran Sastranya” siswa tidak diajarkan tentang apa itu puisi? akan tetapi tujuan dan cara menerapkan yang diajarkannya sehingga pembaca tidak mengetahui secara mendalam tentang puisi dan drama. Penulis hanya memperkenalkan. Pertama, siswa diperkenalkan “baca puisi secara serempak”, di sini siswa hanya mengetahui tujuan baca puisi serempak dan cara menerapkannya dalam praktik membaca puisi serempak. Kedua, pengajar memperkenalkan kepada siswa “baca puisi individu”. Di sini pengajar mengajarkan tentang tujuan baca puisi individu , alat yang diperlukan, dan cara menerapkannya. Ketiga, “melagukan puisi”. Pengajar mengajarkan kepada siswa tujuan, alat yang diperlukan, dan menerapkannya dalam melagukan puisi. Keempat, “memerankan puisi”. pengajar mengajarkan kepada siswanya tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan memerankan puisi di depan umum. Kelima, “menarasikan puisi”.pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan dan menerapkannya dalam pembelajaran puisi. Keenam, mengganti puisi. Pengajar mengajarkan kepada mahasiswa/siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan dalam mengganti puisi. Ketujuh, “menulis puisi berdasarkan lamunan”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan menulis puisi berdasarkan lamunan. Kedelapan, “menulis puisi berdasarkan gambar”. Pengajar mengajarkan kepada mahasiswa/siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan menulis puisi berdasarkan gambar. Kesembilan, “menulis puisi berdasarkan cerita”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan menulis puisi berdasarkan gambar. Kesepuluh, “menulis puisi berdasarkan cerita”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan menulis puisi berdasarkan cerita. Kesebelas, “meneruskan puisi”.pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan meneruskan puisi. Kedua belas,”mengawali puisi”. Pengajar mengajarkan kepada mahasiswa/siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan mangawali puisi. Ketiga belas, “baca puisi berpasangan”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang baca puisi berpasangan.
Bukan tentang puisi saja yang dijabarkan oleh Suyatno dalam bukunya, akan tetapi mengenai tentang drama ada juga. Dalam buku ini Suyatno menjabarkan materi tentang drama sama halnya dengan puisi. Suyatno tidak memberikan pengertian/definisi tentang drama akan tetapi dijabarkan secara langsung tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan drama baik melalui tulisan maupun lisan. Seperti pertama,”memerankan tokoh”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan memerankan tokoh. Kedua, “membuat naskah drama”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, adan cara menerapkan membuat naskah drama. Ketiga,”bermain drama”. Pengajar mengajarkan kepada siswanya tentang tujuan, alat yang digunakan, dan cara menerapkan bermain drama.
Dari kedua buku bacaan di atas (membaca sastra karangan Melani dkk. dan teknik pembelajaran bahasa dan sastra) dapat dijadikan perbandingan. Buku membaca sastra karangan Melani dkk.di lihat dari isinya memenuhi tuntutan pembaca dalam mempelajari ilmunya karena disajikan tentang definisi/pengertian kemudian baru dilanjutka kepada unsur-unsur puisi dan aneka ragam puisi. Dalam buku melani ini pembaca lebih mudah mengenali apa itu puisi, apa saja unsur-unsur puisi, dan keanekaragaman puisi. Sedangkan dalam buku Suyatno dijabarkan secara langsung mengenai puisi yaitu diperkenalkan tujuan, alat yang digunakan, cara menerapkan. Pembaca tidak mengetahui apa itu puisi dan yang bersangkutan di dalam puisi tersebut. Menurut pembaca dilihat dari segi isinya buku Suyatno ini memenuhi tuntutan secara mendalam bagi pembaca dalam memepelajari sastra tentang puisi, namun pengertian/definisi dari kajiannya belum ada. Begitu pula dengan drama, sama halnya dengan puisi tadi. Materi tentang drama juga dijabarkan seperti puisi dalam buku Suyatno ini. Sedangkan dalam buku Melani dijabarkan secara terperinci (mulai dari hakikatnya sampai pengkategorian drama.

D. Penutup
Buku “Membaca Sastra” karangan Melani dkk.ini sangat bagus dibaca oleh kalangan guru dan mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dari program studi mana saja, yang lebih khusus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni pada jurusan Bahasa Indonesia dan juga bagi guru, dosen, dsb. Banyak pengetahuan yang bisa diambil dari buku ini khususnya bagi guru yang sudah mengajar. Sangat bermanfaat untuk dijadikan catatan-catatan penting agar terlatih dalam mempraktikan ilmu sastranya. Karena dalam ilmu sastra seperti puisi, drama dan lain sebagainya sangat banyak dipertunjukkan kepada khalayak ramai. Ketika pementasan drama misalnya, jika mahasiswa/siswanya berhasil mementaskan drama tersebut didepan khalayak umum, pengajarnya akan ikut bangga bahkan mengharumkan namanya (pengajar pada bidang studi tersebut), akan tetapi sebaliknya jika pementasan itu jelek, akan bernasib buruklah imej guru di mata masyarakat.
Buku ini juga bermanfaat bagi khalayak umum, apalagi jika pembacanya yang berbakat pada bidang seni dan sastra.Banyak hal yang dapat dipelajari dan ditimba ilmunya dari buku ini. Seperti halnya bagi seseorang yang punya bakat/hobi bermain teater/drama. Dalam buku ini sudah ada cara bagaimana langkah awal bermain drama yang baik sehingga menghasilkan kesuksesan. Bagi bapak-bapak/ibu-ibu, khususnya ibu rumah tangga yang ingin mengajarkan anaknya berseni dan bersastra sangat bagus membaca buku ini. Sambil mengajari anak-anaknya pelajaran yang lain, ibu-ibu tersebut boleh mengajari anak-anaknya berlatih drama, puisi dan sebagainya. Apalagi anak tersebut sudah kelihatan bakat dan kehobiannya bersastra. Sangat bagus untuk dibimbing, Selain dapat bimbingan di sekolah, di rumah juga bisa dibimbing sehingga mereka menjadi mahir dalam praktiknya di lapangan.
Buku ini sangat bagus dan isi di dalamnya sangat bermanfaat bagi pembaca. Akan tetapi Saya sebagai penulis laporan bacaan ini sangat mengharapkan sebelum menjelaskan uraian panjang lebar tentang materi bab dan subbabnya terlebih dahulu dijelaskan pengertian ataupun definisinya pada paragrap pertama. Sehingga sebelum sampai kepada uraian berikutnya pembaca sudah memahami tentang pengertian/definisi dari materi pada bab dan subbab itu. Terkadang bagi pembaca yang lemah IQ-nya susah untuk memahami isi bacaan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Melani, dkk., 2003. Membaca Sastra (pengantar memahami sastra untuk perguruan tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Suyatno.2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC

Selasa, 29 November 2011

Metode Dakwah

A. Hakikat Dakwah
Dakwah adalah bentuk perubahan ruh yang paling nyata. Dengan demikian sistem nilai dan ajaran yang dimiliki Islam pada dataran sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Oleh karena terlepas dari kondisi apapun maka tidak ada alasan bagi manusia untuk menyangkal terhadap kenyataan dan kemungkinan mengembangkan dakwah sebagai bagian penting dari gerakan agama. Tingkat kesadaran yang terbentuk dari dua wilayah tersebut akan menjadi identitas baru yang direspon oleh individu, komunitas dan institusi agama. Dengan kata lain dakwah bukan hanya sebagai pesan suci dan sebagai realitas yang dituntut memiliki nilai sensitif, tetapi sekaligus konsep yang ditawarkan kepada objek menjadi bagian yang tak terpisahkan. Islam sesungguhnya sangat terbuka kepada kebudayaan, "Secara historis sosiologis salah satu prestasi mencolok dari Islam adalah kemampuannya menciptakan kohesi tauhid yang mudah dicerna, dan keterbukaan Islam untuk menerima simbol dan elemen kultural sebagai media ekspresi dan penyanggah pesan eksistensi Islam.
Keberadaan dakwah dengan menggunakan media apapun perlu menempatkan bahasa sebagai bentuk dialektika yang mudah untuk dipahami (menarik) bagi masyarakat. Harus dipahami bahwa penyampaian dakwah membutuhkan dialektika atau bahasa yang luwes dan fleksibel dengan dirinya sendiri. Kesussastraan, novel adalah karya sastra yang sangat disukai oleh pembaca, di sana terdapat banyak pelajaran yang bisa menggugah perasaan para pembaca. Pada karya novel tersebut juga banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang bisa dijadikan bahan untuk mengubah kehidupan para pembaca dan pandangan hidup manusia. Seperti adanya nilai moral, nilai sosial, nilai agama termasuk juga di dalamnya nilai dakwah dan sebagainya.
Menurut konsep Islam, kata dakwah mengandung makna yang luas dan mendalam. Ia tidak hanya meliputi segala ucapan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan, tetapi juga segala perbuatan dan tingkah laku yang mengamalkan kebaikan. Termasuk juga perbuatan keburukan atau kejahatan yang dilakukan orang lain yang dapat dijadikan pelajaran, agar tidak dilakukan. Berkaiatan dengan ilmu semantik, maka dakwah sebenarnya adalah pengajaran.
Dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah dakwah bil kitab, yaitu dengan menulis. Dakwah melalui tulisan ini pernah juga dilakukan oleh nabi Muhammad Saw, ketika ia mengirim surat ke raja-raja atau penguasa untuk memeluk agama Islam, seperti ke Yaman, Syam dan Habsy (Syukir, 1983:156). Bentuk lain dari bil kitabah adalah novel, cerpen, artikel, dsb. Dengan menulis novel, cerpen, artikel bentuk tulisan lainnya pesan-pesan dakwah dapat disampaikan dengan luas. Bagi orang-orang yang tidak dapat menjalankan aktivitas dakwah melalui lisan, maka berdakwah melalui tulisan adalah jalan yang tepat.

B. Metode Dakwah
Menurut Munir ( 2003:8) metode dakwah itu ada tiga, yaitu: Al-Hikmah, Al-Mau’idzah Hasanah, Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan.
1. Al-Hikmah
Sebagai metode dakwah, Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan. (Munir,2003:9). Ibnu Qayim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an, dan mendalami syari’at-syariat Islam.
Diantara sifat hikmah yang baik terhadap sesama manusia adalah : pemurah, kasih sayang, bertoleransi, tolong menolong, pemaaf, sabar dan lain-lain yang semuanya dibuat semata-mata untuk mencari ridha dan kasih sayang Allah.
Diantara ciri-ciri pendakwah yang bertaqwa adalah seperti berikut:
Hati mereka senantiasa bersama Allah, sehingga mereka takut, cinta, rindu, sensitif dan sangat membesarkan Allah ibadah fardhu dan sunatnya banyak. Akhlak mereka baik, boleh menawan hati orang lain seperti pemurah, tawadhuk, pemaaf, penyayang, menghormati tetamu dan lain-lain lagi. (Jumat, 29 Mei 2009, oleh Achmad Fauzi:net)
Ukhuwah dan kasih sayang antara mereka begitu erat dan kukuh.
Hukum Allah sangat mereka jaga, lebih dari rakyat jelata atau murid sehingga pribadi mereka menjadi contoh. Mereka sangat menjauhi larangan Allah yang haram dan makruh. Berdakwah dan mengajar dengan kasih sayang sekalipun terhadap orang kafir. Mereka hidup zuhud, tidak mengambil kepentingan peribadi dari dakwah dan pekerjaan mereka. Mereka tidak menjadikan dakwah dan mengajar itu sebagai sumber penghasilan. Bahkan harta mereka sendiri dikorbankan untuk kepentingan umat ataupun masyarakat. Mereka sangat memberi layanan kepada umat atau pun masyarakat dan menyelesaikan masalah umat atau pun masyarakat, pengikut dan penyokong-penyokongnya.
Dari ciri-ciri al-hikmah di atas dapat dikembangkan sebagai berikut:
a) Pemurah
Di antara sifat pemurah adalah berkorban ada ikatan yang kokoh dan hubungan yang kuat. Mujahid (pejuang) memberikan jiwanya dan ini adalah puncak sifat pemurah dan orang yang membebaskan diri dari syahwat harta, mengulurkan tangannya dipintu-pintu kebaikan, terkadang lebih manpu berjihad karena sifat pemurah menanamkan di dalam jiwanya pengertian berkorban dan mengutamakan orang lain. (2009, Mahmud Muhammad al-Khazandar;net)
Orang yang pemurah pasti memiliki tawakkal yang kuat, zuhud yang mantap, serta keyakinan yang kokoh. Karena itulah sesungguhnya sifat pemurah terkait dengan iman, secara lahir adalah tangan yang mulia dan pendorongnya adalah jiwa yang pemurah. Rasullullah menggambarkan seorang mukmin dengan sabdanya:”Seorang mukmin adalah orang yang mulia lagi pemurah dan orang fasiq adalah seorang penipu yang tercela”(at-Tarmizi).
Gambaran pemurah yang paling agung adalah yang disertai fakir dan kebutuhan serta sedikitnya yang ada di tangan. Ini adalah akhlak bangsa arab di masa Jahiliyah dan orang yang beriman lebih utama dengannya. Diriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar radhiyallahhu ‘anhuma, ia berkata kepada Rasullullah, “Sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu selain yang dimasukkan kepada Zubair, apakah aku memberikan? Beliau bersabda: “Ya, janganlah engkau menyimpan maka berputuslah sumber rezki darimu.(Tirmizi). Sekalipun sumber pemasukannya sangat sedikit, beliau menyarankan kepadanya agar tetap memberi dan tidak menghitung supaya diberi berkah dalam rizki dan untuk tambahan tawakkal.
b) Kasih sayang
Kasih sayang merupakan milik semua orang. Manifestasi dari kasih sayang dapat menciptakan lingkungan yang tentram. Karena setiap individu menyadari makna yang paling hakiki dari rasa kasih sayang. Dengan kasih sayang kita akan selalu menghargai karya orang lain. Dengan kasih sayang kita selalu menjaga lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang harmonis berarti lingkungan yang berimbang dan jauh dari perusakan. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang mendalam. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia, yang berwujud bentuk seni. Bentuk seni dapat berbentuk seni rupa, seni pahat, seni sastra, seni suara. Pemujaan merupakan perwujudan cinta manusia kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan ini oleh manusia di antaranya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pemujaan atau yang lebih kita kenal sebagai tempat beribadah.
Selain cinta yang bersifat fisikal, Tuhan juga mengajari kita agar membina cinta yang bersifat batiniah, yaitu kasih sayang. Inilah cinta universal, yang lebih bertumpu pada rasa belas kasih sesama.( Jumat, 08 Mei 2009:net)
Karena itu, Tuhan memberikan anugerah lain berupa rasa kasih dan sayang, yang tidak terikat pada keindahan fisik. Melainkan lebih bersifat batiniah dan keluhuran akhlak. Inilah sifat kemanusiaan yang bersumber kepada sifat-sifat Tuhan. Maha Menyayangi, tanpa pilih kasih. Tak peduli sedang kaya atau sudah miskin, tak peduli sedang sehat atau sakit, tak peduli masih tampan dan cantik ataukah sudah tua renta, sifat kasih sayang tetap melekat kepada orang-orang yang berakhlak dan berbudi pekerti baik. Orang-orang yang ketularan sifat ketuhanan, sifat-sifat Ilahiah.
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan yang berlawanan antara cinta dan kasih sayang. Cinta biasanya bakal menurun seiring dengan bertambahnya usia, akan tetapi kasih sayang bisa meningkat seiring dengan umur dan meningkatnya kebijakan seseorang. Perasaan cinta tidak menggebu-gebu lagi seperti ketika berumur 30-an atau 40-an tahun. Akan tetapi dia merasakan ada suatu perasaan seperti ‘cinta’ yang tidak bergantung kepada penampilan fisik. Melainkan lebih kepada 'kecocokan' batin. Keinginan saling membantu dan meringankan. Keinginan untuk menyenangkan pasangannya, karena ia merasa selalu disenangkan. Itulah perasaan kasih sayang yang tulus. Agama mengajarkan agar kita memupuk rasa kasih sayang itu. Bukan hanya sekadar cinta lahiriah, tetapi juga kasih sayang batiniah. (2009, Mahmud Muhammad al-Khazandar;net)
Hal-hal yang bisa mendorong terciptanya atmosfer kasih sayang itu adalah ahlak yang baik sesuai dengan ajaran aagama. Sebaliknya,yang bisa mengganggu terpupuknya kasih sayang adalah ahlak yang buruk. Orang-orang yang suka marah, pembenci, iri, dengki, serakah, egois, dan lain sebagainya, akan cenderung sulit memupuk rasa kasih sayang. Sebaliknya orang yang jujur, adil, rendah hati, dan penyabar memiliki kasih sayang besar untuk menciptakan hubungan yang baik antara masyrakat yang penuh rahmah alias kasih sayang.
c) Bertoleransi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702:net). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.
Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang seringkali dipertentangkan dalam kehidupan manusia. Secara khusus dalam komunitas yang beragam dan akan lebih rumit ketika dibicarakan dalam wilayah agama. Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antar umat beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Demikian juga sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita harus hidup dalam ajaran agama lain. Namun toleransi dalam beragama yang dimaksudkan disini adalah menghormati agama lain. Dalam bertoleransi janganlah kita berlebih-lebihan sehingga sikap dan tingkah laku kita mengganggu hak-hak dan kepentingan orang lain. Lebih baik toleransi itu kita terapkan dengan sewajarnya. Jangan sampai toleransi itu menyinggung perasaan orang lain. Toleransi juga hendaknya jangan sampai merugikan kita, contohnya ibadah dan pekerjaan kita.
d) Pemaaf
Dalam bahasa Arab, maaf diungkapkan dengan kata al-'afwu. Kata al-'afwu, berarti terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan memaafkan kesalahan orang lain berarti hubungan antara mereka yang bermasalah kembali baik dan harmonis karena luka yang ada di dalam hati mereka, terutama orang yang memaafkan, telah sembuh. (2008, Iskandar Dzulqarnain;net). Islam mendorong Muslim untuk memiliki sifat pemaaf. Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan, dan wawasan mendalam seorang Muslim tentang Islam. Seorang Muslim menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit berbahaya karena selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak memiliki sikap pemaaf. Allah SWT berfirman, ''Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.'' (QS 7: 199).
Sikap pemaaf yang menjadi tradisi Muslim jauh lebih baik dari sedekah yang diberikan dengan diiringi ucapan atau sikap yang menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Allah Swt. berfirman, ''Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.'' (QS 2: 263). Seorang Muslim bukan hanya dituntut memberikan maaf. Ia juga diperintahkan berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah kepadanya. Mereka yang mampu berbuat demikian mendapat kedudukan tinggi, pujian, dan pahala yang baik dari Allah Swt. Firman Allah Swt, ''Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.''(QS42:40).
Suka memberi maaf kepada orang yang berbuat salah merupakan ciri orang bertakwa. Orang yang demikian akan memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang bersalah tidak pernah minta maaf kepadanya. Allah berfirman, ''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.''(QS3:133-134). Sikap pemaaf perlu melekat pada diri Muslim dan menjadi akhlak karimahnya sebagai buah iman, takwa, dan ibadahnya kepada Allah. Dengan sikap pemaaf, seorang Muslim dicintai Allah dan disenangi manusia. Dengan sikap pemaaf yang dimiliki, setiap Muslim akan memperkokoh silaturahim antara sesama kita.
e) Sabar
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.(Abu Mushlih Ari Wahyudi, 02-07-2008:net). Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95;net)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam: (1) Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, (2) Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, (3) Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sifat sabar mempunyai beberapa macam antara lain sebagai beriku: (1)Sabar dalam menuntut ilmu, (2) Sabar dalam mengamalkan ilmu, (3) Sabar dalam berdakwah, (5) Sabar dan Kemenangan, (6) Sabar di atas Islam, (7) Sabar menjauhi maksiat. (8) Sabar menerima takdir, (Thariqul wushul, hal. 15-17;net)
f) Tawadhu’
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”(QS.Al-A’raaf/7:146).
Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina dari pada anjing dan babi”(HR.AlBaihaqi). Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri(Kitab Ihya ‘Ulumuddin, AlGhazali). Sekarang ini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuhkannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda : Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi (HR.Muslim). Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah : (1.) Mengenal Allah Swt., (2) Mengenal Diri, (3) Mengenal Aib Diri, (4) Merenungkan nikmat Allah,
g) Tolong Menolong
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tolong menolong adalah saling membantu untuk meringankan beban (penderitaan, kesukaran, dsb), membantu supaya dapat melakukan sesuatu, membanru melepaskan diri dari (bahaya, bencana,dsb). (Ahmadnurcholish, Agustus, 27:2008;net)
Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan. Lihat saja betapa merananya (nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya. Dalam kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.
Sebagai makhluk sosial pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lainnya.
Allah swt. memberikan rule (kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di masyarakat di mana kita tinggal. (Ahmadnurcholish, Agustus, 27:2008;net)
Secara umum, hikmah itu dikenal oleh orang untuk menyeru atau mengajak orang lain untuk berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat atau munkar serta menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela. Seorang penbicara yang cerdas tentu sudah tahu apa-apa yang dilaksanakan tugasnya dan apa-apa yang harus ditinggalkannya. Sesuai dengan pendapat Munir (2003:8)
Kata “hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanayak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah”hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kedzaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

M. Abduh berpendapat bahwa, Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemanpuan dan ketepatan pembicara dalam memilih, memilih dan menyelaraskan metode dakwah dengan kondisi objektif pendengar. Al-Hikmah merupakan kemanpuan pembicara dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemanpuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi pendengar yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para pembicara memerlukan hikmah, sehingga ajaran islam manpu memasuki ruang hati para pendengar dengan tepat. Oleh karena itu, para pembicara dituntut untuk manpu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.

2. Al-Mau’idzah al-Hasanah
Mauizatul hasanah artinya nasihat yang baik. Maksudnya dalam berdakwah menyeru masyarakat kepada Allah atau dalam mendidik anak-anak murid dan masyarakat, seharusnya guru, pendidik dan pendakwah hendaknya memberi nasihat yang baik dengan memberi khabar gembira atau tabsyir. Misalnya dengan menceritakan indahnya hidup bersama Allah, indahnya ganjaran yang akan Allah beri di akhirat, pertolongan yang Allah beri kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh menuju Allah dan sebagainya. Ajak pendengar atau masyarakat berfikir tentang kebesaran Allah, kuasa Allah, kehebatan Allah, kebaikan Allah, rahmat Allah serta nikmat-Nya.
Ini akan mendidik jiwa tauhid agar tumbuh rasa kehambaan yang tinggi terhadap Allah Swt. Termasuk memberi nasihat yang baik adalah dengan menceritakan tanzir atau cerita-cerita yang menakutkan, misalnya menceritakan tentang neraka dan azab Allah, serta ancaman-ancaman dan kemurkaan Allah bagi orang yang durhaka kepada Allah. Selain itu, termasuk memberi nasihat yang baik adalah menceritakan sejarah hidup para nabi, rasul dan orang-orang soleh. Cerita-cerita itu bermaksud untuk mendorong manusia agar melakukan amal soleh dan berakhlak mulia serta menjadi panduan kepada manusia, bagaimana mereka harus menjalani hidup sebenarnya. Supaya manusia menghindari sifat-sifat jahat dan agar selamat dari pada api neraka, maka para pendakwah dan guru menceritakan perihal orang-orang jahat atau musuh Allah seperti Firaun, Namrud, Qarun, Haman dan lain-lain. Semuanya ini untuk dapat dijadikan iktibar dan pengajaran oleh para pendengar dan masyarakat.
Menurut Munir (2003:15) secara bahasa, mau’izhah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adzayai’dzu-wa’dzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan (pengajaran) sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik. Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung nasihat, bimbingan, pendidikan (pengajaran) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.(Munir:2003:16).
Dari definisi di atas, Mau’izhah hasanah tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk: Nasihat atau petuah, bimbingan, pendidikan (pengajaran). Menurut K.H.Mahfudz kata tersebut mengandung arti: Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan Tuhan-Nya, yaitu Allah Swt.
Dari beberapa klasisifikasi al-mau’zdah al-hasanah di atas, maka dapat dikembangkan sebagai berikut:
a) Nasihat
Nasihat secara etimologi berasal dari kata nashaha yang berarti khalasa yaitu murni. Adapun nasihat menurut Abu Amr bin Salah adalah menghendaki suatu kebaikan untuk orang lain dengan cara ikhlas baik berupa tindakan atau kehendak. (2008, Dr. Attabiq Luthfi, MA;net). Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama yang sangat penting dan penyanggah kebenaran yang paling fundamental sehingga Rasulullah menegaskan dalam haditsnya: Dari Tamim Ad Dary bahwasannya Nabi bersabda:"Agama adalah Nasihat". kami bertanya: Untuk siapa? Beliau bersabda: "Untuk Allah, KitabNya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh Umat Islam". (H.R Muslim dan An-Nasa'i)
Nasihat dapat dibagi menjadi dua kategori; nasihat yang baik dan nasihat yang tidak baik. Padahal secara umum, kata “nasihat” sering dikonotasikan hanya dalam rangka kebaikan dan seharusnya ditujukan untuk memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Tidak mungkin seseorang menjerumuskan orang lain melalui media nasihat atau merupakan hal yang mustahil, nasihat yang disampaikan justru bertujuan untuk menjerumuskan orang ke dalam kemaksiatan dan kesusahan.
Namun penggunaan “nasihat” dalam konteks yang negatif ternyata digunakan oleh Al-Qur’an, yaitu nasihat yang justru akan menjerumuskan orang lain ke dalam bahaya, seperti yang digambarkan dalam kisah perjalanan nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya yang hendak membunuhnya. Demikian juga, nasihat yang pernah disampaikan oleh Iblis kepada nabi Adam dan Hawa yang justru untuk menjerumuskan keduanya ke dalam kemaksiatan.
Pada kapasitas para nabi sebagai ‘nashihun amin’ yang disebutkan diantaranya dalam surah Al-A’raf: 68, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu” layak dan patut untuk dijadikan cermin dan contoh teladan, karena demikian seharusnya para penasihat itu bersikap dan berperilaku, sehingga tidak mudah dan gampang mengumbar nasihat kepada seseorang. Inilah arti nasihat yang sesungguhnya menurut bahasa, yaitu mencari dan memilah sebuah perbuatan atau perkataan yang mendatangkan maslahat bagi sahabatnya. Seperti ungkapan bahasa Arab, Nashihul ‘Asal yang artinya madu yang murni yang telah dipilah dari beberapa madu yang banyak. Betapa nasehat yang baik hanya bermuatan positif dan melalui proses pemilahan kata atau tindakan yang tepat dan bisa memberikan manfaat bagi si penerima, bukan malah sebaliknya.
Jika demikian, memang tidak mudah memberikan nasihat yang baik kepada seseorang. Agar amaliah nasihat menasihati berlangsung dengan baik tanpa melahirkan su’u dzan dan kebencian, atau berubah status menjadi media “ta’yir”, maka yang harus diperhatikan dalam memberikan nasihat diantaranya adalah muatan nasihat itu sendiri, cara, media dan adab menyampaikan nasihat, suasana dan status sosial penerima nasihat, serta target yang hendak dicapai dari penyampaian nasihat tersebut.
Dalam bahasa Rasul, amaliah nasihat menasihati merupakan akhlak unggulan sehingga seluruh agama ini dikatakan sebagai nasihat, “Agama itu adalah nasihat” demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Tamim Ad-Dari. Bahkan sahabat Jarir bin Abdullah menjadikan nasihat sebagai salah satu poin baiat kepada Rasulullah saw: “Saya berbaiat kepada Rasulullah untuk senantiasa mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mengamalkan nasihat bagi setiap muslim”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari). Sungguh – karena kelemahan insani – setiap kita sangat membutuhkan nasihat. Tentunya, nasihat yang baik, yang disampaikan dengan cara yang baik, dan dalam koridor akhlak yang baik, serta untuk tujuan kebaikan dan perbaikan.
b) Pendidikan (pengajaran)
Pendidikan adalah tiang utama dari kebangkitan suatu bangsa, di mana seluruh bangsa sangat berharap besar terhadap pendidikan, ini disebabkan karena pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan bangsa. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu visi Islam, secara tegas dinyatakan dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Pendidikan sebagai alat dakwah yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi yang utuh, baik secara moral maupun intelektual. Oleh karenanya dibutuhkan segenap usaha untuk membangkitkan sistem pendidikan saat ini.
Saat ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan mesti direformasi total, yaitu: (1) para pelajar yang larut dalam moderenisasi membuat mereka merengguk kebathilan demi kebathilan, diantaranya meniru yang tidak patut ditiru, pergaulan bebas, (2) pendidikan yang ada saat ini cendrung memilah dan memisah-misah disiplin ilmu pengetahuan, sehingga membuat ilmu agama seolah-olah menjadi disiplin ilmu nomor 2, (3) para pendidik dan pemegang kebijakan pendidikan larut dalam kemegahan pendidikan barat, sehingga membuat mereka menjadikan barat sebagai cermin bagi sistem pendidikan di negeri ini. (Jumat, 29 Mei 2009;net).
Definisi Pendidikan Menurut Islam, Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam seeara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.(Nur Uhbiyati,194;net). Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial, sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan dampaknya ialah berkembananya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa_pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
c) Bimbingan
Bimbingan yaitu prilaku muslim (niyat, irodat, dan amal) berupa menunjukkan ajaran, menuntun pelaksanaanya, dan membantu pemecahan problema kehidupan orang lain dengan bahasa lisan dan perbuatan yang berlangsung dalam suasana tatap muka. (Blogger Templates:net). Bimbingan adalah proses membantu individu atau kelompok untuk memperoleh pemahaman diri dan pengarahan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri secara maksimal kepada keluarga dan masyarakat (net). Jadi bimbingan, nasihat dan pendidikan dalam dakwah yang mengacu kepada karya sastra mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi. Karena bisa membawa manusia menuju ke jalan yang benar. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa karya sastra baik itu novel, cerita rakyat dan juga syair mempunyai nilai-nilai. Baik itu nilai berkenaan dengan moral, sosial maupun nilai dakwah. Nilai dakwah tersebut seperti yang telah disebutkan di atas yaitu berupa nasihat, pendidikan atau ajaran dan bimbingan. Dalam hal ini bisa dikategorikan juga nilai dakwah yang termasuk nilai moral.
Perintah melaksanakan dakwah Islam juga berarti perintah membangun keilmuannya dan mengadakan segala sesuatu yang berkaitan bagi terselenggaranya perintah tersebut dengan baik, benar dan profesional. Dan merealisasikan segala sesuatu yang di perintahkan adalah kewajiban bagi yang menerima perintah, dengan demikian membangun dan mengembangkan keilmuan dakwah dengan berbagai macam disiplinnya sejalan dengan kewajiban dakwah itu sendiri. Salah satu bentuk kegiatan dakwah adalah bimbingan, bagaimana posisi, materi dan prospek pengembangan keilmuannya? Persoalan ini memerlukan jawaban dari sudut pandang filsafat ilmu yang berbasiskan kepada al-Qur’an, sunah dan produk ijthihad dalam memperkokoh dan mengembangkan disiplin ilmu bimbingan sebagai bagian dari ilmu agama Islam.
Jadi, kalau kita telusuri kesimpulan dari mau’izhah hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan ; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.


3. Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan
Dari segi istilah terdapat beberapa pengertian al-mujadalah. Al-mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhamad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Menurut Munir (2003:17) Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah diambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambah alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faa ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujadalah” perdebatan.Kemudian “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang ditujukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.
Dalam masyarakat ada berbagai golongan orang, ada golongan awam, ada golongan cerdik pandai, intelek, pemimpin, dan ulama. Terhadap golongan yang bukan awam ini para pendakwah mesti menggunakan kaidah “bil ahsan”.Artinya dengan cerdik pandai, intelek, pemimpin, ulama dan lain-lain, hendaklah para pendakwah masyarakat berbincang dengan sebaik-baiknya, yaitu : bahasa mesti baik, bertutur kata mesti tersusun, kata-katanya keluar dari hati yang dihayati, dijiwai dan sudah ada kesungguhan untuk mengamalkan apa yang dikatakan.
Para pendakwah juga mesti ada ilmu yang luas walau secara umum dan serba sedikit yang mencakup ilmu pendakwah, politik, ekonomi, sosiologi, sejarah, kebudayaan dan sebagainya. Tanpa alat-alat yang cukup ini, dakwah kita tidak akan berkesan dan tidak mendorong masyarakat untuk baik diri atau melakukan perubahan pada dirinya. Tidak mendorong orang untuk masuk ke dalam Islam, karena mereka tidak melihat dan merasakan keindahan dan kecantikan Islam yang dibawa oleh para pendakwah masyarakat. Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. (Zulfahmi,26 Januari 2010). Selain memperbolehkan wasilah (cara) debat atau diskusi. Allah dan rasul-Nya pun telah menentukan aturan-aturan dalam melakukan debat. Secara garis besar anjuran debat dalam Islam ini adalah: (1) debat dilakukan dalam tataran ide yang sedang diperdebatkan. Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan argumentasi-argumentasi, (2) debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan) sebagaimana yang diperintahkan Allah. Maksudnya dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Bukan berpatokan pada “pokok”nya, atau “kata”nya, ataupun dengan akal pikiran. Kalaupun menggunakan akal, maka haruslah dengan menggunakan pemikiran yang rasional, bukan persangkaan ataupun filsafat, (3) menghindari berkata yang buruk, keji, mencaci atau memaki individu. Ketika berdebat, kita benar-benar harus mengingat bahwa yang kita debat adalah ide yang disampaikan, bukan individu yang menyampaikan, sehingga kita tidak boleh menyerang secara individual dan menggunakan kata - kata yang tidak mencerminkan keimanan kepada Allah, (4) tidak mencari cari perdebatan atau senang dengan perdebatan. Al-Qur’an telah menjadikan debat sebagai salah satu cara dalam menyampaikan kebenaran Islam, tapi bukan berarti al-Qur’an memerintahkan kita untuk senang dalam berdebat atau mencari-cari perdebatan. Seorang mukmin seharusnya memahami bahwa perdebatan adalah salah satu bagian dari dakwah dan jalan terakhir dalam dakwah, bukan malah mengawali dakwah dengan perdebatan, (5) perhatikan siapa yang menjadi partnerdebat/diskusi. Pertama-tama kali yang harus diperhatikan adalah siapa partner debat atau diskusi kita, karena partner debat/diskusi seharusnya seseorang yang memang menginginkan dan mencari kebenaran, bukan hanya menyenangi debat atau menjadikan debat untuk memperolokolok agama Islam,(6) perhatikan apa yang akan diperdebatkan / didiskusikan. Seorang mukmin tidak akan menceburkan dirinya dalam perkara-perkara yang seharusnya tidak didiskusikan, dalam perkara yang tidak bermanfaat, dan juga dalam perkara-perkara yang tidak akan meningkatkan keimanan ketika mendebat / mendiskusikannya. (Wednesday, January 27 th, 2010).


DAFTAR PUSTAKA
Abda, Slamet Muhaemin. 1994. Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya : Usaha Nasional

Arifin, Medan. 1987. Filsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.

Chalil, Moenawar, KH. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw Jilid 1. Surabaya : Gema Insani Press.

Daradjat, Zakiah. Dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Husin, Jaafar. 1995. Penelitian Sastra Metodologi dan Penerapan Teori. Malaysia: Nohaz Enterprise

Iskandar, Arief.B. 2009. Materi Dasar Islam. islam mulai akar hingga daunnya. Bogor : Al-Azhar Press

Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media

Surahkmad, Winarno. 1982. Pengantar Pendidikan Ilmiah Dasar Metode dan Teknik. Bandung : Tarsito

Sadjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra.Jakarta: Universitas Indonesia.

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa

Http/www. dakwatuna. Com/wap
Http//digilib. Unres. Ac. Id./gsdi/collect/skripsi/archives/Has. Hoi/ee226ab3/doc.
http://sosial-budaya. Blogspot.com/2009/05/pengertian-kasih sayang.cinta. kemesraan
http://alkitab.sabda.org/lexicon.phpzword.pemurah
http:// rumah dakwah blogspot.com/2008./07/sikap-pemaaf.html
http://alkitab.sabda.org/lexikon.php2 word.tolong-menolong
http://muslim.or.id/akhlak-dan-nasihat//hakikat-sabar-html