Selasa, 29 November 2011

Metode Dakwah

A. Hakikat Dakwah
Dakwah adalah bentuk perubahan ruh yang paling nyata. Dengan demikian sistem nilai dan ajaran yang dimiliki Islam pada dataran sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Oleh karena terlepas dari kondisi apapun maka tidak ada alasan bagi manusia untuk menyangkal terhadap kenyataan dan kemungkinan mengembangkan dakwah sebagai bagian penting dari gerakan agama. Tingkat kesadaran yang terbentuk dari dua wilayah tersebut akan menjadi identitas baru yang direspon oleh individu, komunitas dan institusi agama. Dengan kata lain dakwah bukan hanya sebagai pesan suci dan sebagai realitas yang dituntut memiliki nilai sensitif, tetapi sekaligus konsep yang ditawarkan kepada objek menjadi bagian yang tak terpisahkan. Islam sesungguhnya sangat terbuka kepada kebudayaan, "Secara historis sosiologis salah satu prestasi mencolok dari Islam adalah kemampuannya menciptakan kohesi tauhid yang mudah dicerna, dan keterbukaan Islam untuk menerima simbol dan elemen kultural sebagai media ekspresi dan penyanggah pesan eksistensi Islam.
Keberadaan dakwah dengan menggunakan media apapun perlu menempatkan bahasa sebagai bentuk dialektika yang mudah untuk dipahami (menarik) bagi masyarakat. Harus dipahami bahwa penyampaian dakwah membutuhkan dialektika atau bahasa yang luwes dan fleksibel dengan dirinya sendiri. Kesussastraan, novel adalah karya sastra yang sangat disukai oleh pembaca, di sana terdapat banyak pelajaran yang bisa menggugah perasaan para pembaca. Pada karya novel tersebut juga banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang bisa dijadikan bahan untuk mengubah kehidupan para pembaca dan pandangan hidup manusia. Seperti adanya nilai moral, nilai sosial, nilai agama termasuk juga di dalamnya nilai dakwah dan sebagainya.
Menurut konsep Islam, kata dakwah mengandung makna yang luas dan mendalam. Ia tidak hanya meliputi segala ucapan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan, tetapi juga segala perbuatan dan tingkah laku yang mengamalkan kebaikan. Termasuk juga perbuatan keburukan atau kejahatan yang dilakukan orang lain yang dapat dijadikan pelajaran, agar tidak dilakukan. Berkaiatan dengan ilmu semantik, maka dakwah sebenarnya adalah pengajaran.
Dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah dakwah bil kitab, yaitu dengan menulis. Dakwah melalui tulisan ini pernah juga dilakukan oleh nabi Muhammad Saw, ketika ia mengirim surat ke raja-raja atau penguasa untuk memeluk agama Islam, seperti ke Yaman, Syam dan Habsy (Syukir, 1983:156). Bentuk lain dari bil kitabah adalah novel, cerpen, artikel, dsb. Dengan menulis novel, cerpen, artikel bentuk tulisan lainnya pesan-pesan dakwah dapat disampaikan dengan luas. Bagi orang-orang yang tidak dapat menjalankan aktivitas dakwah melalui lisan, maka berdakwah melalui tulisan adalah jalan yang tepat.

B. Metode Dakwah
Menurut Munir ( 2003:8) metode dakwah itu ada tiga, yaitu: Al-Hikmah, Al-Mau’idzah Hasanah, Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan.
1. Al-Hikmah
Sebagai metode dakwah, Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan. (Munir,2003:9). Ibnu Qayim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an, dan mendalami syari’at-syariat Islam.
Diantara sifat hikmah yang baik terhadap sesama manusia adalah : pemurah, kasih sayang, bertoleransi, tolong menolong, pemaaf, sabar dan lain-lain yang semuanya dibuat semata-mata untuk mencari ridha dan kasih sayang Allah.
Diantara ciri-ciri pendakwah yang bertaqwa adalah seperti berikut:
Hati mereka senantiasa bersama Allah, sehingga mereka takut, cinta, rindu, sensitif dan sangat membesarkan Allah ibadah fardhu dan sunatnya banyak. Akhlak mereka baik, boleh menawan hati orang lain seperti pemurah, tawadhuk, pemaaf, penyayang, menghormati tetamu dan lain-lain lagi. (Jumat, 29 Mei 2009, oleh Achmad Fauzi:net)
Ukhuwah dan kasih sayang antara mereka begitu erat dan kukuh.
Hukum Allah sangat mereka jaga, lebih dari rakyat jelata atau murid sehingga pribadi mereka menjadi contoh. Mereka sangat menjauhi larangan Allah yang haram dan makruh. Berdakwah dan mengajar dengan kasih sayang sekalipun terhadap orang kafir. Mereka hidup zuhud, tidak mengambil kepentingan peribadi dari dakwah dan pekerjaan mereka. Mereka tidak menjadikan dakwah dan mengajar itu sebagai sumber penghasilan. Bahkan harta mereka sendiri dikorbankan untuk kepentingan umat ataupun masyarakat. Mereka sangat memberi layanan kepada umat atau pun masyarakat dan menyelesaikan masalah umat atau pun masyarakat, pengikut dan penyokong-penyokongnya.
Dari ciri-ciri al-hikmah di atas dapat dikembangkan sebagai berikut:
a) Pemurah
Di antara sifat pemurah adalah berkorban ada ikatan yang kokoh dan hubungan yang kuat. Mujahid (pejuang) memberikan jiwanya dan ini adalah puncak sifat pemurah dan orang yang membebaskan diri dari syahwat harta, mengulurkan tangannya dipintu-pintu kebaikan, terkadang lebih manpu berjihad karena sifat pemurah menanamkan di dalam jiwanya pengertian berkorban dan mengutamakan orang lain. (2009, Mahmud Muhammad al-Khazandar;net)
Orang yang pemurah pasti memiliki tawakkal yang kuat, zuhud yang mantap, serta keyakinan yang kokoh. Karena itulah sesungguhnya sifat pemurah terkait dengan iman, secara lahir adalah tangan yang mulia dan pendorongnya adalah jiwa yang pemurah. Rasullullah menggambarkan seorang mukmin dengan sabdanya:”Seorang mukmin adalah orang yang mulia lagi pemurah dan orang fasiq adalah seorang penipu yang tercela”(at-Tarmizi).
Gambaran pemurah yang paling agung adalah yang disertai fakir dan kebutuhan serta sedikitnya yang ada di tangan. Ini adalah akhlak bangsa arab di masa Jahiliyah dan orang yang beriman lebih utama dengannya. Diriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar radhiyallahhu ‘anhuma, ia berkata kepada Rasullullah, “Sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu selain yang dimasukkan kepada Zubair, apakah aku memberikan? Beliau bersabda: “Ya, janganlah engkau menyimpan maka berputuslah sumber rezki darimu.(Tirmizi). Sekalipun sumber pemasukannya sangat sedikit, beliau menyarankan kepadanya agar tetap memberi dan tidak menghitung supaya diberi berkah dalam rizki dan untuk tambahan tawakkal.
b) Kasih sayang
Kasih sayang merupakan milik semua orang. Manifestasi dari kasih sayang dapat menciptakan lingkungan yang tentram. Karena setiap individu menyadari makna yang paling hakiki dari rasa kasih sayang. Dengan kasih sayang kita akan selalu menghargai karya orang lain. Dengan kasih sayang kita selalu menjaga lingkungan yang harmonis. Lingkungan yang harmonis berarti lingkungan yang berimbang dan jauh dari perusakan. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang mendalam. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia, yang berwujud bentuk seni. Bentuk seni dapat berbentuk seni rupa, seni pahat, seni sastra, seni suara. Pemujaan merupakan perwujudan cinta manusia kepada Tuhan. Kecintaan kepada Tuhan ini oleh manusia di antaranya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pemujaan atau yang lebih kita kenal sebagai tempat beribadah.
Selain cinta yang bersifat fisikal, Tuhan juga mengajari kita agar membina cinta yang bersifat batiniah, yaitu kasih sayang. Inilah cinta universal, yang lebih bertumpu pada rasa belas kasih sesama.( Jumat, 08 Mei 2009:net)
Karena itu, Tuhan memberikan anugerah lain berupa rasa kasih dan sayang, yang tidak terikat pada keindahan fisik. Melainkan lebih bersifat batiniah dan keluhuran akhlak. Inilah sifat kemanusiaan yang bersumber kepada sifat-sifat Tuhan. Maha Menyayangi, tanpa pilih kasih. Tak peduli sedang kaya atau sudah miskin, tak peduli sedang sehat atau sakit, tak peduli masih tampan dan cantik ataukah sudah tua renta, sifat kasih sayang tetap melekat kepada orang-orang yang berakhlak dan berbudi pekerti baik. Orang-orang yang ketularan sifat ketuhanan, sifat-sifat Ilahiah.
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan yang berlawanan antara cinta dan kasih sayang. Cinta biasanya bakal menurun seiring dengan bertambahnya usia, akan tetapi kasih sayang bisa meningkat seiring dengan umur dan meningkatnya kebijakan seseorang. Perasaan cinta tidak menggebu-gebu lagi seperti ketika berumur 30-an atau 40-an tahun. Akan tetapi dia merasakan ada suatu perasaan seperti ‘cinta’ yang tidak bergantung kepada penampilan fisik. Melainkan lebih kepada 'kecocokan' batin. Keinginan saling membantu dan meringankan. Keinginan untuk menyenangkan pasangannya, karena ia merasa selalu disenangkan. Itulah perasaan kasih sayang yang tulus. Agama mengajarkan agar kita memupuk rasa kasih sayang itu. Bukan hanya sekadar cinta lahiriah, tetapi juga kasih sayang batiniah. (2009, Mahmud Muhammad al-Khazandar;net)
Hal-hal yang bisa mendorong terciptanya atmosfer kasih sayang itu adalah ahlak yang baik sesuai dengan ajaran aagama. Sebaliknya,yang bisa mengganggu terpupuknya kasih sayang adalah ahlak yang buruk. Orang-orang yang suka marah, pembenci, iri, dengki, serakah, egois, dan lain sebagainya, akan cenderung sulit memupuk rasa kasih sayang. Sebaliknya orang yang jujur, adil, rendah hati, dan penyabar memiliki kasih sayang besar untuk menciptakan hubungan yang baik antara masyrakat yang penuh rahmah alias kasih sayang.
c) Bertoleransi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702:net). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.
Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang seringkali dipertentangkan dalam kehidupan manusia. Secara khusus dalam komunitas yang beragam dan akan lebih rumit ketika dibicarakan dalam wilayah agama. Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antar umat beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya. Demikian juga sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita harus hidup dalam ajaran agama lain. Namun toleransi dalam beragama yang dimaksudkan disini adalah menghormati agama lain. Dalam bertoleransi janganlah kita berlebih-lebihan sehingga sikap dan tingkah laku kita mengganggu hak-hak dan kepentingan orang lain. Lebih baik toleransi itu kita terapkan dengan sewajarnya. Jangan sampai toleransi itu menyinggung perasaan orang lain. Toleransi juga hendaknya jangan sampai merugikan kita, contohnya ibadah dan pekerjaan kita.
d) Pemaaf
Dalam bahasa Arab, maaf diungkapkan dengan kata al-'afwu. Kata al-'afwu, berarti terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Dengan memaafkan kesalahan orang lain berarti hubungan antara mereka yang bermasalah kembali baik dan harmonis karena luka yang ada di dalam hati mereka, terutama orang yang memaafkan, telah sembuh. (2008, Iskandar Dzulqarnain;net). Islam mendorong Muslim untuk memiliki sifat pemaaf. Sifat ini muncul karena keimanan, ketakwaan, pengetahuan, dan wawasan mendalam seorang Muslim tentang Islam. Seorang Muslim menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi tenang dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit berbahaya karena selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak memiliki sikap pemaaf. Allah SWT berfirman, ''Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.'' (QS 7: 199).
Sikap pemaaf yang menjadi tradisi Muslim jauh lebih baik dari sedekah yang diberikan dengan diiringi ucapan atau sikap yang menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Allah Swt. berfirman, ''Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.'' (QS 2: 263). Seorang Muslim bukan hanya dituntut memberikan maaf. Ia juga diperintahkan berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah kepadanya. Mereka yang mampu berbuat demikian mendapat kedudukan tinggi, pujian, dan pahala yang baik dari Allah Swt. Firman Allah Swt, ''Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.''(QS42:40).
Suka memberi maaf kepada orang yang berbuat salah merupakan ciri orang bertakwa. Orang yang demikian akan memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, meskipun yang bersalah tidak pernah minta maaf kepadanya. Allah berfirman, ''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.''(QS3:133-134). Sikap pemaaf perlu melekat pada diri Muslim dan menjadi akhlak karimahnya sebagai buah iman, takwa, dan ibadahnya kepada Allah. Dengan sikap pemaaf, seorang Muslim dicintai Allah dan disenangi manusia. Dengan sikap pemaaf yang dimiliki, setiap Muslim akan memperkokoh silaturahim antara sesama kita.
e) Sabar
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.(Abu Mushlih Ari Wahyudi, 02-07-2008:net). Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95;net)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam: (1) Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, (2) Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, (3) Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sifat sabar mempunyai beberapa macam antara lain sebagai beriku: (1)Sabar dalam menuntut ilmu, (2) Sabar dalam mengamalkan ilmu, (3) Sabar dalam berdakwah, (5) Sabar dan Kemenangan, (6) Sabar di atas Islam, (7) Sabar menjauhi maksiat. (8) Sabar menerima takdir, (Thariqul wushul, hal. 15-17;net)
f) Tawadhu’
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya”(QS.Al-A’raaf/7:146).
Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina dari pada anjing dan babi”(HR.AlBaihaqi). Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri(Kitab Ihya ‘Ulumuddin, AlGhazali). Sekarang ini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuhkannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda : Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi (HR.Muslim). Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah : (1.) Mengenal Allah Swt., (2) Mengenal Diri, (3) Mengenal Aib Diri, (4) Merenungkan nikmat Allah,
g) Tolong Menolong
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tolong menolong adalah saling membantu untuk meringankan beban (penderitaan, kesukaran, dsb), membantu supaya dapat melakukan sesuatu, membanru melepaskan diri dari (bahaya, bencana,dsb). (Ahmadnurcholish, Agustus, 27:2008;net)
Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan. Lihat saja betapa merananya (nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya. Dalam kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.
Sebagai makhluk sosial pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lainnya.
Allah swt. memberikan rule (kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di masyarakat di mana kita tinggal. (Ahmadnurcholish, Agustus, 27:2008;net)
Secara umum, hikmah itu dikenal oleh orang untuk menyeru atau mengajak orang lain untuk berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat atau munkar serta menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela. Seorang penbicara yang cerdas tentu sudah tahu apa-apa yang dilaksanakan tugasnya dan apa-apa yang harus ditinggalkannya. Sesuai dengan pendapat Munir (2003:8)
Kata “hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanayak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah”hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kedzaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

M. Abduh berpendapat bahwa, Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemanpuan dan ketepatan pembicara dalam memilih, memilih dan menyelaraskan metode dakwah dengan kondisi objektif pendengar. Al-Hikmah merupakan kemanpuan pembicara dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemanpuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi pendengar yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para pembicara memerlukan hikmah, sehingga ajaran islam manpu memasuki ruang hati para pendengar dengan tepat. Oleh karena itu, para pembicara dituntut untuk manpu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.

2. Al-Mau’idzah al-Hasanah
Mauizatul hasanah artinya nasihat yang baik. Maksudnya dalam berdakwah menyeru masyarakat kepada Allah atau dalam mendidik anak-anak murid dan masyarakat, seharusnya guru, pendidik dan pendakwah hendaknya memberi nasihat yang baik dengan memberi khabar gembira atau tabsyir. Misalnya dengan menceritakan indahnya hidup bersama Allah, indahnya ganjaran yang akan Allah beri di akhirat, pertolongan yang Allah beri kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh menuju Allah dan sebagainya. Ajak pendengar atau masyarakat berfikir tentang kebesaran Allah, kuasa Allah, kehebatan Allah, kebaikan Allah, rahmat Allah serta nikmat-Nya.
Ini akan mendidik jiwa tauhid agar tumbuh rasa kehambaan yang tinggi terhadap Allah Swt. Termasuk memberi nasihat yang baik adalah dengan menceritakan tanzir atau cerita-cerita yang menakutkan, misalnya menceritakan tentang neraka dan azab Allah, serta ancaman-ancaman dan kemurkaan Allah bagi orang yang durhaka kepada Allah. Selain itu, termasuk memberi nasihat yang baik adalah menceritakan sejarah hidup para nabi, rasul dan orang-orang soleh. Cerita-cerita itu bermaksud untuk mendorong manusia agar melakukan amal soleh dan berakhlak mulia serta menjadi panduan kepada manusia, bagaimana mereka harus menjalani hidup sebenarnya. Supaya manusia menghindari sifat-sifat jahat dan agar selamat dari pada api neraka, maka para pendakwah dan guru menceritakan perihal orang-orang jahat atau musuh Allah seperti Firaun, Namrud, Qarun, Haman dan lain-lain. Semuanya ini untuk dapat dijadikan iktibar dan pengajaran oleh para pendengar dan masyarakat.
Menurut Munir (2003:15) secara bahasa, mau’izhah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adzayai’dzu-wa’dzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan (pengajaran) sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik. Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung nasihat, bimbingan, pendidikan (pengajaran) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.(Munir:2003:16).
Dari definisi di atas, Mau’izhah hasanah tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk: Nasihat atau petuah, bimbingan, pendidikan (pengajaran). Menurut K.H.Mahfudz kata tersebut mengandung arti: Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan Tuhan-Nya, yaitu Allah Swt.
Dari beberapa klasisifikasi al-mau’zdah al-hasanah di atas, maka dapat dikembangkan sebagai berikut:
a) Nasihat
Nasihat secara etimologi berasal dari kata nashaha yang berarti khalasa yaitu murni. Adapun nasihat menurut Abu Amr bin Salah adalah menghendaki suatu kebaikan untuk orang lain dengan cara ikhlas baik berupa tindakan atau kehendak. (2008, Dr. Attabiq Luthfi, MA;net). Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama yang sangat penting dan penyanggah kebenaran yang paling fundamental sehingga Rasulullah menegaskan dalam haditsnya: Dari Tamim Ad Dary bahwasannya Nabi bersabda:"Agama adalah Nasihat". kami bertanya: Untuk siapa? Beliau bersabda: "Untuk Allah, KitabNya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh Umat Islam". (H.R Muslim dan An-Nasa'i)
Nasihat dapat dibagi menjadi dua kategori; nasihat yang baik dan nasihat yang tidak baik. Padahal secara umum, kata “nasihat” sering dikonotasikan hanya dalam rangka kebaikan dan seharusnya ditujukan untuk memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Tidak mungkin seseorang menjerumuskan orang lain melalui media nasihat atau merupakan hal yang mustahil, nasihat yang disampaikan justru bertujuan untuk menjerumuskan orang ke dalam kemaksiatan dan kesusahan.
Namun penggunaan “nasihat” dalam konteks yang negatif ternyata digunakan oleh Al-Qur’an, yaitu nasihat yang justru akan menjerumuskan orang lain ke dalam bahaya, seperti yang digambarkan dalam kisah perjalanan nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya yang hendak membunuhnya. Demikian juga, nasihat yang pernah disampaikan oleh Iblis kepada nabi Adam dan Hawa yang justru untuk menjerumuskan keduanya ke dalam kemaksiatan.
Pada kapasitas para nabi sebagai ‘nashihun amin’ yang disebutkan diantaranya dalam surah Al-A’raf: 68, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu” layak dan patut untuk dijadikan cermin dan contoh teladan, karena demikian seharusnya para penasihat itu bersikap dan berperilaku, sehingga tidak mudah dan gampang mengumbar nasihat kepada seseorang. Inilah arti nasihat yang sesungguhnya menurut bahasa, yaitu mencari dan memilah sebuah perbuatan atau perkataan yang mendatangkan maslahat bagi sahabatnya. Seperti ungkapan bahasa Arab, Nashihul ‘Asal yang artinya madu yang murni yang telah dipilah dari beberapa madu yang banyak. Betapa nasehat yang baik hanya bermuatan positif dan melalui proses pemilahan kata atau tindakan yang tepat dan bisa memberikan manfaat bagi si penerima, bukan malah sebaliknya.
Jika demikian, memang tidak mudah memberikan nasihat yang baik kepada seseorang. Agar amaliah nasihat menasihati berlangsung dengan baik tanpa melahirkan su’u dzan dan kebencian, atau berubah status menjadi media “ta’yir”, maka yang harus diperhatikan dalam memberikan nasihat diantaranya adalah muatan nasihat itu sendiri, cara, media dan adab menyampaikan nasihat, suasana dan status sosial penerima nasihat, serta target yang hendak dicapai dari penyampaian nasihat tersebut.
Dalam bahasa Rasul, amaliah nasihat menasihati merupakan akhlak unggulan sehingga seluruh agama ini dikatakan sebagai nasihat, “Agama itu adalah nasihat” demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Tamim Ad-Dari. Bahkan sahabat Jarir bin Abdullah menjadikan nasihat sebagai salah satu poin baiat kepada Rasulullah saw: “Saya berbaiat kepada Rasulullah untuk senantiasa mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mengamalkan nasihat bagi setiap muslim”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari). Sungguh – karena kelemahan insani – setiap kita sangat membutuhkan nasihat. Tentunya, nasihat yang baik, yang disampaikan dengan cara yang baik, dan dalam koridor akhlak yang baik, serta untuk tujuan kebaikan dan perbaikan.
b) Pendidikan (pengajaran)
Pendidikan adalah tiang utama dari kebangkitan suatu bangsa, di mana seluruh bangsa sangat berharap besar terhadap pendidikan, ini disebabkan karena pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan bangsa. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu visi Islam, secara tegas dinyatakan dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Pendidikan sebagai alat dakwah yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi yang utuh, baik secara moral maupun intelektual. Oleh karenanya dibutuhkan segenap usaha untuk membangkitkan sistem pendidikan saat ini.
Saat ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan mesti direformasi total, yaitu: (1) para pelajar yang larut dalam moderenisasi membuat mereka merengguk kebathilan demi kebathilan, diantaranya meniru yang tidak patut ditiru, pergaulan bebas, (2) pendidikan yang ada saat ini cendrung memilah dan memisah-misah disiplin ilmu pengetahuan, sehingga membuat ilmu agama seolah-olah menjadi disiplin ilmu nomor 2, (3) para pendidik dan pemegang kebijakan pendidikan larut dalam kemegahan pendidikan barat, sehingga membuat mereka menjadikan barat sebagai cermin bagi sistem pendidikan di negeri ini. (Jumat, 29 Mei 2009;net).
Definisi Pendidikan Menurut Islam, Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam seeara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.(Nur Uhbiyati,194;net). Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial, sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan dampaknya ialah berkembananya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa_pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
c) Bimbingan
Bimbingan yaitu prilaku muslim (niyat, irodat, dan amal) berupa menunjukkan ajaran, menuntun pelaksanaanya, dan membantu pemecahan problema kehidupan orang lain dengan bahasa lisan dan perbuatan yang berlangsung dalam suasana tatap muka. (Blogger Templates:net). Bimbingan adalah proses membantu individu atau kelompok untuk memperoleh pemahaman diri dan pengarahan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri secara maksimal kepada keluarga dan masyarakat (net). Jadi bimbingan, nasihat dan pendidikan dalam dakwah yang mengacu kepada karya sastra mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi. Karena bisa membawa manusia menuju ke jalan yang benar. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa karya sastra baik itu novel, cerita rakyat dan juga syair mempunyai nilai-nilai. Baik itu nilai berkenaan dengan moral, sosial maupun nilai dakwah. Nilai dakwah tersebut seperti yang telah disebutkan di atas yaitu berupa nasihat, pendidikan atau ajaran dan bimbingan. Dalam hal ini bisa dikategorikan juga nilai dakwah yang termasuk nilai moral.
Perintah melaksanakan dakwah Islam juga berarti perintah membangun keilmuannya dan mengadakan segala sesuatu yang berkaitan bagi terselenggaranya perintah tersebut dengan baik, benar dan profesional. Dan merealisasikan segala sesuatu yang di perintahkan adalah kewajiban bagi yang menerima perintah, dengan demikian membangun dan mengembangkan keilmuan dakwah dengan berbagai macam disiplinnya sejalan dengan kewajiban dakwah itu sendiri. Salah satu bentuk kegiatan dakwah adalah bimbingan, bagaimana posisi, materi dan prospek pengembangan keilmuannya? Persoalan ini memerlukan jawaban dari sudut pandang filsafat ilmu yang berbasiskan kepada al-Qur’an, sunah dan produk ijthihad dalam memperkokoh dan mengembangkan disiplin ilmu bimbingan sebagai bagian dari ilmu agama Islam.
Jadi, kalau kita telusuri kesimpulan dari mau’izhah hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan ; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.


3. Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan
Dari segi istilah terdapat beberapa pengertian al-mujadalah. Al-mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhamad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Menurut Munir (2003:17) Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah diambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambah alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faa ala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujadalah” perdebatan.Kemudian “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang ditujukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.
Dalam masyarakat ada berbagai golongan orang, ada golongan awam, ada golongan cerdik pandai, intelek, pemimpin, dan ulama. Terhadap golongan yang bukan awam ini para pendakwah mesti menggunakan kaidah “bil ahsan”.Artinya dengan cerdik pandai, intelek, pemimpin, ulama dan lain-lain, hendaklah para pendakwah masyarakat berbincang dengan sebaik-baiknya, yaitu : bahasa mesti baik, bertutur kata mesti tersusun, kata-katanya keluar dari hati yang dihayati, dijiwai dan sudah ada kesungguhan untuk mengamalkan apa yang dikatakan.
Para pendakwah juga mesti ada ilmu yang luas walau secara umum dan serba sedikit yang mencakup ilmu pendakwah, politik, ekonomi, sosiologi, sejarah, kebudayaan dan sebagainya. Tanpa alat-alat yang cukup ini, dakwah kita tidak akan berkesan dan tidak mendorong masyarakat untuk baik diri atau melakukan perubahan pada dirinya. Tidak mendorong orang untuk masuk ke dalam Islam, karena mereka tidak melihat dan merasakan keindahan dan kecantikan Islam yang dibawa oleh para pendakwah masyarakat. Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. (Zulfahmi,26 Januari 2010). Selain memperbolehkan wasilah (cara) debat atau diskusi. Allah dan rasul-Nya pun telah menentukan aturan-aturan dalam melakukan debat. Secara garis besar anjuran debat dalam Islam ini adalah: (1) debat dilakukan dalam tataran ide yang sedang diperdebatkan. Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan argumentasi-argumentasi, (2) debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan) sebagaimana yang diperintahkan Allah. Maksudnya dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Bukan berpatokan pada “pokok”nya, atau “kata”nya, ataupun dengan akal pikiran. Kalaupun menggunakan akal, maka haruslah dengan menggunakan pemikiran yang rasional, bukan persangkaan ataupun filsafat, (3) menghindari berkata yang buruk, keji, mencaci atau memaki individu. Ketika berdebat, kita benar-benar harus mengingat bahwa yang kita debat adalah ide yang disampaikan, bukan individu yang menyampaikan, sehingga kita tidak boleh menyerang secara individual dan menggunakan kata - kata yang tidak mencerminkan keimanan kepada Allah, (4) tidak mencari cari perdebatan atau senang dengan perdebatan. Al-Qur’an telah menjadikan debat sebagai salah satu cara dalam menyampaikan kebenaran Islam, tapi bukan berarti al-Qur’an memerintahkan kita untuk senang dalam berdebat atau mencari-cari perdebatan. Seorang mukmin seharusnya memahami bahwa perdebatan adalah salah satu bagian dari dakwah dan jalan terakhir dalam dakwah, bukan malah mengawali dakwah dengan perdebatan, (5) perhatikan siapa yang menjadi partnerdebat/diskusi. Pertama-tama kali yang harus diperhatikan adalah siapa partner debat atau diskusi kita, karena partner debat/diskusi seharusnya seseorang yang memang menginginkan dan mencari kebenaran, bukan hanya menyenangi debat atau menjadikan debat untuk memperolokolok agama Islam,(6) perhatikan apa yang akan diperdebatkan / didiskusikan. Seorang mukmin tidak akan menceburkan dirinya dalam perkara-perkara yang seharusnya tidak didiskusikan, dalam perkara yang tidak bermanfaat, dan juga dalam perkara-perkara yang tidak akan meningkatkan keimanan ketika mendebat / mendiskusikannya. (Wednesday, January 27 th, 2010).


DAFTAR PUSTAKA
Abda, Slamet Muhaemin. 1994. Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya : Usaha Nasional

Arifin, Medan. 1987. Filsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.

Chalil, Moenawar, KH. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw Jilid 1. Surabaya : Gema Insani Press.

Daradjat, Zakiah. Dkk. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Husin, Jaafar. 1995. Penelitian Sastra Metodologi dan Penerapan Teori. Malaysia: Nohaz Enterprise

Iskandar, Arief.B. 2009. Materi Dasar Islam. islam mulai akar hingga daunnya. Bogor : Al-Azhar Press

Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media

Surahkmad, Winarno. 1982. Pengantar Pendidikan Ilmiah Dasar Metode dan Teknik. Bandung : Tarsito

Sadjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra.Jakarta: Universitas Indonesia.

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa

Http/www. dakwatuna. Com/wap
Http//digilib. Unres. Ac. Id./gsdi/collect/skripsi/archives/Has. Hoi/ee226ab3/doc.
http://sosial-budaya. Blogspot.com/2009/05/pengertian-kasih sayang.cinta. kemesraan
http://alkitab.sabda.org/lexicon.phpzword.pemurah
http:// rumah dakwah blogspot.com/2008./07/sikap-pemaaf.html
http://alkitab.sabda.org/lexikon.php2 word.tolong-menolong
http://muslim.or.id/akhlak-dan-nasihat//hakikat-sabar-html

Jumat, 25 November 2011

RETORIKA

Komunikasi antarpersonal merupakan proses memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu atau dengan mempergunakan suatu alat. Komunikasi interpersonal hanya melibatkan satu individu. Penggunaan bahasa yang baik sangat mendukung komunikasi. Dengan menggunakan bahasa yang baik pihak yang dituju dalam komunikasi antarpersonal dapat menerima dan memahami pesan yang disampaikan komunikator, lebih dari itu, situasi komunikasi yang efektif dan serasipun dapat dikembangkan.
Kemampuan menggunakan bahasa yang baik tidak hanya terkait dengan kemampuan seseorang memahami dan menerapkan kaidah ketatabahasaan, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan seseorang memahami unsur-unsur yang terlibat dalam praktik komunikasi. Unsur-unsur itu mencakup siapa dan bagaimana karakteristik penerima pesan, tujuan penyampaian pesan, alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan bagaimana karakteristik situasi komunikasi ketika penyampaian pesan berlangsung. Secara umum, bidang ilmu yang menelaah unsur-unsur komunikasi itu adalah retorika.
Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan, dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian, kerja sama, serta kedamaian dalam kehidupan masyarakat (Oka, 1976: 44). Sedangkan Keraf (1986: 18) mendefinisikan retorika sebagai cara pemakaian bahasa sebagai seni, lisan maupun tulisan yang didasarkan pada suatu pengetahuan atau suatu metode yang teratur dan tersusun baik.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Berdasarkan uraian di atas, pidato merupakan bagian dari pidato. Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana.