Minggu, 18 Desember 2011

Cerpen: Asneli Luthan

CALON SUAMI


Saya benar-benar bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini kerbau atau jawi! Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu?
Saya tak keberatan kalau saya mau. Apa salahnya kalau hal begitu memang enak dan menguntungkan. Masalahnya itulah, saya tidak mau. Hati saya menolak. Batin saya tidak sudi diajak kompromi. Tapi mereka: ibu, bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili saya yang paling dekat, mereka itulah yang harus saya hadapi. Mereka darah daging saya. Di mana secuil daging, setetes darah, sehelai rambut, setitik keringat yang ada dalam tubuh saya asal muasalnya dari mereka.
Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu.
Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!
Isi suratnya begini:
”Inne, kamu harus pulang setelah mendapat surat ini. Calon suamimu telah kami sediakan. Kalau kamu tidak pulang, buruk akibatnya. Dua adik perempuanmu yang tidak usah disebutkan namanya di sini, akan minggat dari rumah. Karena mereka ingin secepatnya kawin. Padahal mereka tak mau kawin kalau kamu belum kawin. Adik laki-lakimu tidak mau membantu uang dapur lagi, karena menurut mereka, giliranmu membantu untuk masa-masa selanjutnya. Kata mereka, hal tu akan bisa kamu lakukan kalau ada yang menjamin hidupmu. Penghasilanmu sendiri bisa membantu orang tua. Dan yang lebih penting, kalau kamu menolak lagi mayatmu kelak tidak akan dikunjungi keluarga. Camkan! Ini tidak main-main.”
Pada surat-surat mereka yang lalu, saya masih berhasil meyakinkan, bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. ”Saya ingin kawin. Tapi nanti saja, kalau Tuhan mengirimkan seorang laki-laki yang benar-benar pantas untuk seorang perempuan seperti saya. Tenang saja Bu, anak Ibu seorang yang istimewa, jadi teman hidupnya juga harus istimewa. Menemukan yang istimewa zaman sekarang ini susah, Bu,” kata saya dalam surat agar dia tenang dan bangga.
Kesempatan lain saya menulis:
”Tak usah khawatir atau malu, Bu. Banyak perempuan yang tidak kawin. Misalnya Henriette Roland Holst, Florence Nightingale, Jean d’arc, dan banyak lagi yang lain. Mereka itu dicatat sejarah dunia Bu. Perempuan-perempuan hebat!”
Maksud saya menulis semacam ini agar Ibu saya geleng-geleng kepala sambil berkhayal:
”Wah, hebat juga! Inne tentu akan sehebat mereka pula!”
Tentu saja saya tidak menulis nama nama Madame Currie, Indira Gandhi, Golda Meyr, dan nama-nama wanita hebat lainnya – yang kawin dan juga dicatat sejarah.
Tapi balasan ibu saya jauh di luar keinginan dan harapan saya.
”Alah, kamu hanya menutupi kelemahanmu saja. Katakan, kamu tidak mampu menarik hati laki-laki. Karena kamu keras kepala dan sombong. Mending wajahmu cantik!”
Saya tidak tahu, akhir-akhir ini ibu saya lain sekali. Surat-suratnya keras dan kasar. Tak mau lagi memanggil saya dengan nak, atau kata-kata lembut lainnya. Nampaknya sebel betul!
Tapi semuanya masih bisa saya tolerir, atau saya malah senang sekali menerima surat semacam itu. Setiap kata sering saya sertakan ketawa besar. Geli.
Yang terakhir ini:
Saya coba mengulur sedikit. Saya tanyakan lewat surat kira-kira macam apa gambaran calon suami saya yang telah mereka sediakan itu. Tidak lama, balasannya datang.
”Kamu kan bilang sumimu harus istimewa. Kami penuhi kehendakmu. Dia istimewa. Jangan banyak tanya lagi, pulang saja. Kebutuhan kenduri sudah kami sediakan ala kadarnya.”
Dengan helaan nafas panjang, jantung nyat nyut, kondisi pisik dan batin yang runyam, saya pun berangkat. Begitu terganggunya keadaan saya, sampai tidak tahu dengan kendaraan apa saya pulang. Lewat tanah, udara, air, atau bawah bumi. Tak tahu. Habisnya, sepanjang jalan tidak henti-hentinya saya berdoa. Mudah-mudahan calon suami saya itu betul-betul ideal dan idaman saya.
“Tuhan, tolonglah saya!” jerit saya dalam hati.
Sekonyong-konyong datang bayangan lain. Bagaimana kalau dia itu orang kaya? Punya perusahaan anu atau perkebunan besar. Diajak hidup layak, Atau siapa tahu, dia mau memperalat saya. Dari jauh dia sudah mempelajari kelemahan dan kekuatan saya, tinggal tancap saja nanti. ”Tuhan, tolonglah saya!”
Singkat cerita, akhirnya saya sampai di rumah. Nampaknya penyambutan saya benar-benar dirancang sedemikian rupa. Rumah begitu ramai oleh sanak famili. Mereka sangat senang dan bergembira. Setelah selesai basa-basi, saya tak sabar ingin menanyakan, bahkan sudah kebelet ingin ketemu Sang calon.
Kelihatannya mereka sengaja mengulur-ulur, menunggu agar saya penasaran. Ketika ke kamar mau ganti pakaian, saya beri kode ibu saya agar masuk kamar pula. Tanpa sopan sanun lagi, saya serang ibu saya. Saya tagih janjinya.
”Manaaa?”
”Apa?”
”Janjinya!”
”O, itu?”
”Iya, ibu bagaimana, sih?” (Dalam bahasa daerah tentunya)
”Sabar, dong”
Sialan!
Ibu saya ke luar kamar sambil mengedipkan matanya sebelah.
Besoknya saya disuruh ibu dan etek (tante) berdandan. Peralatannya sudah disediakan. Tinggal pakai.
”Kamu harus berhias secantik-cantiknya. Gaunmu harus benar-benar serasi,” kata etek saya sambil membantu memoles wajah saya.
”Kayak apaan, sih tek, orangnya?” usut saya sedikit demi sedikit.
”Pokoknya kamu bisa pingsan kalau tak kuat menahan diri,” kata etek saya.
”Wah, gawat dong.”
”Pokoknya kamu takkan percaya.”
Setelah saya merasa secantik bidadari atau monster, saya duduk di sebuah kursi yang telah disediakan. Sambil menunggu kejadian berikutnya, bibir saya tetap komat- kamit. Berdoa terus. Doa seorang yang pasrah. Terjadilah apa yang akan terjadi.
Pintu kamar dibuka. Siiirrrr. Di depan saya berdiri seorang laki-laki. Saya belum bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba mulut saya tertutup rapat, darah saya stop mengalir, saya deg-degan. Lazimnya perempuan dalam suasan begitu, saya menunduk. Malu.
”Silakan berkenalan....,” kata ibu saya sambil menutup pintu.
Diam. Diam. Hening. Hanya bunyi nafas.
Saya angkat kepala pelan-pelan. Oh, tidak sanggup! Tunduk lagi. Si calon masih tetap diam di tempat dan tak bersuara. Saya angkat wajah saya sekali lagi. Berhasil. Saya tatap dia. Lembut saja. Dia memberikan senyum. Sedikit. Dia ulurkan tangannya. Saya terima dan saya menyebut nama saya. Saya tetap nyat-nyut. Tapi dia tak menyebut namanya.
”Nama Anda?” tanya saya penuh perasaan. Dia tersenyum.
”Nama Anda?” ulang saya. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celamanya, lalu mengeluarkan secarik kertas.
Di situ tertulis . . . . segala macam.
Nama, alamat, umur, pekerjaan, suku, hobby, agama, bintang film kesayangan, hal-hal yang tidak disukai, makanan favorit, dan nama serta asal-usul orang tua.

***

Setelah kenduri selesai, kami (saya dan suami) bersiap-siap berangkat. Tak bisa terlalu lama, perkerjaan saya menunggu.
Sebelum berangkat, dengan pakaian kebaya dan dandanan seorang pengantin baru, berganti-ganti saya peluk ibu saya, bapak, etek, dan semua famili. Yang tentunya telah bersusah payah mencarikan suami buat saya. Ucapan syukur dan terima kasih. Betapa mereka telah menolong saya ke luar dari masalah pelik yang sekian tahun tak berhasil saya selesaikan.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya kira ibu tidak mengerti tentang saya selama ini, sehingga hubungan kita sering sendat. Rupanya tidak. Ibu mengerti dan memahami saya sedalam-dalamnya. Ibu tahu selera saya. Sampai kepada siapa yang pantas jadi suami saya. Terima kasih yang tak bertara. Pilihan keluarga, adalah idaman saya. Ideal sekali,” saya cium pipi ibu sebagai rasa terima kasih yang tulus. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan kepada ibu atau anggota keluarga dekat lainnya. Tradisi kami tak membiasakannya.
Ibu saya hanya menepuk-nepuk bahu saya.

***

Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi.


Jakarta, 79.-

1 komentar: