Minggu, 18 Desember 2011

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

A. Pengertian Alih kode dan Campur Kode
Masyarakat yang multi bahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu variasi bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam kajian sosiolinguistik, pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek terpenting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan. Lebih lanjut Sumarsono (2004:201) mengatakan ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yaitu alih kode (code switching), campur kode (mixing code) dan variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language).
Dari ketiga jenis pilihan bahasa tersebut, dalam penelitian terbatas hanya membahas dua jenis pilihan bahasa, yaitu alih kode (code switching) dan campur kode (mixing code).
1) Pengertian Alih Kode
Dapat diketahui, di banyak negara dari daerah pedesaan hingga perkotaan terdapat orang-orang yang menggunakan bahasa-bahasa yang berlainan yang artinya memakai lebih dari satu bahasa untuk berkomunikasi. Nababan (1991:27) mengatakan suatu daerah atau masyarakat dimana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual. Kemudian Mackey dalam Chaer (2004:84) mengatakan penggunaan dua bahasa oleh seorang masyarakat tutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian disebut bilingualisme. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat tutur menjadi masyarakat yang bilingual.
Dengan keadaan kedwibahasaan (bilingulisme) ini, akan sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan bahasa atau interfensi bahasa. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain Gejala tersebut disebut dengan Alih kode dan Campur kode (Ohoiwutun, 2007:69). Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu, kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa (Sumarsono, 2004:201).

Selanjutnya Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Lebih lanjut Apple dalam Chaer (2004:107) mengatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Ditambahkan oleh Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Sebagai contoh peristiwa peralihan yang terjadi dalam suatu kelas yang sedang mempelajari bahasa asing (sebagai contoh bahasa Jepang). Di dalam kelas tersebut secara otomatis menggunakan dua bahasa yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.. Kemudian terjadi percakapan dalam suatu bahasa nasional (contoh bahasa Indonesia) lalu tiba-tiba beralih ke bahasa daerah (contoh bahasa Batak), maka kedua jenis peralihan ini juga disebut alih kode.
2) Pengertian Campur Kode
Kemudian gejala lain yaitu campur kode. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode Thelander dalam Chaer (2004:115) mengatakan apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Kemudian Nababan (1991:32) mengatakan campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (artau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Jadi penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Campur kode serupa dengan interfensi dari bahasa satu ke bahasa lain.
Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. jika berwujud kata biasanya gejala itu disebut peminjaman. Hal yang menyulikan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman tetapi kata-kata pinjaman ini sudah tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan sebagai bahasa yang dipakai. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”. dari sini terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan kedalam bahasa Indonesia. Namun ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala campur kode atau pun alih kode. Hal ini disebabkan penutur jelas tidak menyadari kata-kata yang dipakai adalah kata-kata pinjaman, bahkan ia merasa semuanya merupakan bagian dari bahasa Indonesia karena proses peminjaman tersebut sudah terjadi sejak lama. Lebih lanjut Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata yang-kata yang megalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan capur kode. Oleh karena itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar.

B. Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode
1) Penyebab Terjadinya Alih Kode
Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), yaitu:
a. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang jawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan. Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka. Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga. Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak. Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak. Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B. Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.
b. Lawan Tutur
Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya..jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah restoran. Kemudian ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang. Tamu tersebut ingin mempraktekkan bahasa Indonesia yang telah ia pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu tersebut menanyakan biaya makanya ia tidak dapat mengerti karena Rani masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi peristiwa alih kode.
c. Hadirnya Penutur Ketiga:
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara. Mereka berdua adalah orang Jawa. Oleh karena itu, ketika berbicara, mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa Jawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik, kawan Tini yang merupakan orang padang. Untuk sesaat Upik tidak mengerti apa yang mereka katakan. Kenudian Tini memahami hal tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik, yaitu bahasa Indonesia. kemudian ia bercerita tentang apa yang ia bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.
d. Perubahan Situasi
Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya. Sebagai contoh, dapat dijelaskan dari kutipan ilustrasi ini :
S : Apakah bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini ?
M : O, ya, sudah. Inilah!
S : Terima kasih.
M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaikikantor
sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan
tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju
harus berani bertindak ngono (... Sekarang jika usahanya ingin maju
harus berani bertindak demikian...)
S : Panci nganten, Pak (Memang begitu, pak)
M : Panci nganten, priye? (Memang begitu bagaimana?) Vika Aprilia : Analisis Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Lirik Lagu Baby Don’t Cry Oleh
Namie Amuro, 2010

S :Tegeshipun mbok modalipun kados menapa, menawi
(Maksudnya, betapapun besarnya modal kalau...)
M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbati kakehan, usahane
ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak hbungan,
dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi.
Begitu maksudmu?)
S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan!)
M : O, ya, apakah surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?
S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat
khusus.
Soewito dalam Chaer (2004:110-111)
Percakapan dimulai dengan menggunakan bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor dan yang dibicarakan adalah tentang surat. Situasinya Formal. Namun ketika yang bicarakan bukan lagi mengenai surat melainkan tentang sifat orang yang akan dikirimi surat tersebut dan situasinya berubah menjadi t idak formal atau informal (percakapan yang ditandai dengan menggunakan garis bawah), maka bahasa yang digunakan menjadi bahasa Jawa. Disinilah terjadi peristiwa alih kode. Selanjutnya ketika pembicaraan berubah lagi tidak membicarakan orang tersebut, melainkan kembali membicarakan masalah surat, maka situasi informal beruba h menjadi formal kembali dan terjadi lagi peristiwa alih kode. Hal ini juga dikarenakan kedua orang tersebut memiliki latar belakang bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa, maka pembicaraan berlansung lancar. Lain halnya jika mereka tidak memiliki latar belakang bahasa yang sama, maka mustahil pembicaraan akan diteruskan bahkan peristiwa alih kode pun pasti tidak akan muncul.
Alih ragam seperti dari ragam bahasa baku ke nonbaku termasuk ke dalam peristiwa alih kode karena pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya aalah komunitas bahasa (dialek). Para penutur yang sedang beralih kode berasal dari minimun dua komunitas dari bahasa-bahasa (dialek) yang sedang mereka praktekkan. Sebaliknya alih ragam bukan berarti berganti komunitas. Alih ragam terjadi dalam bahasa yang sama, karena dorongan perubahan situasi berbicara, topik, status sosial, penutur dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan alih kode (bahsa atau dialek) dilakukan oleh dua pihak yang memiliki dua komunitas bahasa yang sama. Alih ragam hanya terjadi dalam satu bahasa dan satu komunitas saja.
e. Topik Pembicaraan
Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Seperti contoh ilustrasi tadi M dan S terlibat suatu percakapan. Ketika topik pembicaraan mereka mengenai surat, karena jabatan mereka adalah sekretaris dan atasannya dan percakapan ini berlangsung di kantor, maka mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa formal. Kemudian ketika topikberalih menjadi pribadi si penerima surat, maka bahasa yang mereka gunakanpun ikut beralih menjadi bahasa Jawa. Begitu juga ketika topik kembali berubah ke semula, maka bahasa merekapun kembali menjadi bahasa Indonesia.

2) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode
Sama halnya dengan alih kode, campur kodepun disebabkan oleh masyarakat tutur yang multilingual yang artinya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Namun, tidak seperti alih kode, campur kode tidak mempunyai maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. Setyaningsih, dalam http://www.slideshare.net/ninazski/paper-sosling-nina mengatakan campur kode digunakan karena apabila seseorang yang sedang dalam kegiatan berkomunikasi tidak mendapatkan padanan kata yang cocok yang dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang sebenarnya, maka ia akan mencari padanan kata yang cocok dengan jalan mengambil istilah dari berbagai bahasa yang ia kuasai. Kemudian latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type) yakni latar belakang sikap penutur, dan kebahasaan (linguistik type) yakni latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa

C. Jenis-Jenis Alih Kode dan Campur Kode
1) Jenis-Jenis Alih Kode
Alih kode merupakan bagian dari kajian sosioligustik yang membahas kode bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur dan hubungannya dengan lingkungan masyarakat tutur tersebut. Alih kode digunakan tergantung dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Maksudnya pengubahan kode bahasa terjadi tergantung pada siapa lawan bicaranya, dimana terjadinya, kapan, dengan tujuan apa dan sebagainya. Alih kode dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Wardaugh dan Hudson mengatakan, alih kode terbagi menjadi dua, yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.
a. Alih Kode Metaforis
Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik. Sebagai contoh C dan D adalah teman satu kantor, awalnya mereka menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah. Kebetulan C dan D tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan. Alih kode jenis ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika topik berganti.
b. Alih Kode Situasional
Sedangkan alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). Sebagai contoh ayah sedang memarahi anaknya, ia menggunakan bahasa yang dapat dimengerti anaknya tersebut, kemudian datang tetangga dan menanyakan apa yang terjadi. Si ayah tidak mengganti topik pembicaraan, tetapi hanya merubah intonasi dan nada suaranya yang semula bernada marah dan kesal menjadi tenang dan mulai menjelaskan sebab ia memarahi anaknya tersebut.
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern.
a) Alih Kode Intern
Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya
b) Alih Kode Ekstern
Sedangkan alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya.

2. Jenis-Jenis Campur Kode
Dalam www.adhani.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik/bab5.pdf, campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar (outer code-mixing)dan campur kode ke dalam (inner code-mixing).
a. Campur Kode Ke Luar (Outer Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia – bahasa Inggr is – bahasa Jepang, dll
b. Campur Kode Ke Dalam (Inner Code-Mixing)
Yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak– Bahasa Minang (lebih ke dialek), dll. Dalam bahasa Jepang percampuran variasi bahasa dapat berupa penggunaan katakana sebagai bahasa serapan, dialek (osaka ben, kansai ben), ragam bahasa keigo ke futsu go dsb.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Baby Don’t cry dalam http://www.jpopasia.com/ play/2664/ namie-amuro/baby-dont-cry.html
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.
M.S, Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Puspitasari, Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files. wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press.
Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode (Lagi). dalam http://indonesia saram.wordpress.com/ \2007/04/22/tentang-campur-kode-lagi/.
Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana. Solo: Pustaka Cakra Surakarta.
Susilo, Wardoyo. 2008. Campur Kode dalam Teks Lagu Jepang pada Album First
Love oleh Utada Hikaru. dalam http://unesaprodijepang.word campurkode dalam teks lagu jepang pada album first love oleh utada
Suamarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Hiwatari,Yasutaka.Tanpa Tahun. Anglicisms, Globalisation, and Performativity

1 komentar: